Sukses

Dorong Penguatan LPP TVRI untuk Ketahanan Nasional, Ini Kata Pengamat

Tugas utama TVRI adalah memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya.

Liputan6.com, Jakarta - Sudah sepatutnya, DPR ikut mendorong penguatan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) seperti TVRI, LKBN Antara dan RRI melalui dorongan kebijakan anggaran maupun kelembagaan. Hal itu diungkapkan Pengamat Kebijakan Publik dari Institute Development of Policy And Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro.

Mengapa demikian? "Karena, Lembaga Penyiaran Publik (LPP) ini memainkan peran strategis, yakni penguatan nasionalisme dan ketahanan nasional. Peran itu menjadi DNA-nya LPP, mulai RRI, LKBN Antara atau pun TVRI. Pada konteks ini sepatutnya anggota DPR ikut memahami sehingga sadar pola kerja LPP menjadi unik. Ada tugas khusus yang tidak dimiliki lembaga penyiaran swasta lain," ucap Riko, kepada wartawan, di Jakarta, Kamis, 11 Desember 2024.

Pengamat ini mengungkapkan hal itu untuk menanggapi "serangan" yang dilontarkan anggota DPR kepada LPP, khususnya TVRI. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin lalu, 02 Desember 2024, Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (LPP TVRI) mendapat berbagai tudingan miring dari wakil rakyat.

Apalagi TVRI tidak mendapatkan kesempatan untuk menjawab secara langsung mengingat jawaban harus diberikan tertulis beberapa hari kemudian. Ini membuat kesan yang tertangkap publik bahwa tudingan itu benar adanya.

Padahal, tudingan-tudingan miring tersebut salah besar karena tidak sesuai dengan fakta yang ada, kata Riko. Menurut dia, dalam rapat dengar pendapat yang membahas program kerja LKBN Antara, TVRI dan RRI Tahun Anggaran 2025 itu, anggota Komisi VII DPR-RI tidak melihat fakta yang ada sebenarnya.

"Misalnya, di satu sisi, TVRI disuruh bersaing secara komersial dengan swasta. Tapi, kakinya diikat karena secara kelembagaan banyak aturan yang membuatnya tidak bisa bergerak secara leluasa,“ cetusnya.

Melihat TVRI itu, ungkap Riko, harus dari kacamata helikopter. "Jangan secara parsial (kecil-kecil), apa yang membuat TVRI seolah susah maju. TVRI dituding mempunyai anggaran besar, tapi program jelek-jelek dan minim penonton," imbuhnya.

Riko yang hadir di tribun atas saat RDP berlangsung, menjelaskan setelah melihat pemaparan TVRI.

"Anggaran dari APBN Rp1,5 triliun setahun. Dari komposisi itu, Rp 900 miliar untuk bayar gaji pegawai dan dukungan manajemen. Berapa jumlah pegawainya TVRI? 5.000 orang. Itu bukan maunya TVRI punya pegawai sebanyak itu. Karena, secara teknis, pegawai TVRI adalah pegawai Kominfo yang ditugaskan di TVRI. Mau pecat pegawai agar sampai jumlah ideal? Ya minta Kominfo (sekarang Komdigi yang pecat). Itu bukan kewenangan TVRI," paparnya.

Lalu, sisanya, pengamat itu menjelaskan, Rp 600 miliar untuk membayar operasional, program dan anggaran teknik untuk 3 stasiun (TVRI Nasional, TVRI Sport dan TVRI World ) serta, 32 stasiun penyiaran daerah. “Untuk anggaran program yang saya lihat hanya Rp180 miliar setahun. Itu bisa untuk anggaran TV swasta sebulan," ulasnya.

Ada anggata DPR yang mengatakan, gambar TVRI burem seperti banyak semut. "Artinya itu anggota tidak pernah menonton TVRI. Dalam era digital sekarang setelah analog switch off, sudah tidak ada lagi gambar semut. Yang ada sekarang ada gambar bening atau tidak ada gambar sama sekali. Era gambar semut adalah jaman analog," urai Riko.

Dari pengamatannya, dalam rapat dengar pendapat tersebut, hanya satu poin yang disampaikan anggota DPR Komisi VII, Arizal Tom Liwafa yang mendekati benar yaitu soal aplikasi yang masih ada bug.

"TVRI ditegur karena soal aplikasi yang masih ada bug. Tapi, itu, kan, dikarenakan masih belum launching. Jadi wajar belum 100 persen," tegasnya.

 

2 dari 2 halaman

Tidak Apple to Apple

Kata pengamat ini, membandingkan TVRI dengan TV swasta tentu tidak dapat apple to apple.

"Mana bisa TVRI bayar artis mahal. Mana bisa TVRI bayar hak siar bola, misalnya. Lalu, TVRI tidak pernah mengacu ke Nielsen. Karena, survei kepemirsaan Nielsen hanya di 11 kota besar. Padahal, jangkauan TVRI sampai ke pelosok. Pemancar digital TVRI ada 200 pemancar. TV swasta paling 15 - 50 pemancar,“ jelasnya.

Akibatnya, industri media/periklanan tidak ada yang bersedia ke TVRI karena tidak diukur oleh Nielsen, imbuh Riko. Dia pun menegaskan, membandingkan TVRI dengan TV swasta itu juga sudah  salah kaprah.

"TVRI adalah TV publik. Dia tidak buat sinetron, silet, gibah infotaiment. Adanya adalah program kepublikan yang pasti menurut orang-orang yang biasa nonton sinetron TV swasta dianggap membosankan," ungkapnya.

LPP Jadi Mitra Daerah

Hal lain yang perlu juga diperhatikan, tegas Riko, adalah keberpihakan pemerintah daerah terhadap LPP. "Sebaiknya LPP TVRI, RRI, LKBN Antara dijadikan mitra pemerintah daerah. Agar, dorongan perannya semakin kuat. TVRI khan memiliki stasiun stasiun daerah di setiap provinsi. Sambil kemudian LPP berupaya bertranformasi sesuai tantangan zaman," pungkasnya.

Sementara itu, Direktur Utama TVRI, Iman Brotoseno saat dikonfirmasi membenarkan semua apa yang diungkapkan pengamat tersebut. Ia menambahkan, tugas utama TVRI adalah memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya.

Lebih lanjut, Iman menjelaskan bahwa banyak kalangan sering membandingkan konten TVRI yang dianggap kurang menarik minat masyarakat jika dibanding TV swasta. Sebagai lembaga penyiaran publik, TVRI dapat dikatakan memperoleh kepemirsaan yang sangat kecil dibandingkan dengan lembaga penyiaran swasta dengan merujuk angka kepemirsaan yang rendah.

 

Video Terkini