Liputan6.com, Yogyakarta - Sebuah perhelatan karya seni, salah satu tujuan yang terpenting adalah melahirkan peristiwa kebudayaan. Dari sinilah perlunya gagasan dan kecerdasan merespon dinamika sosial lalu diwujudkan dengan ekspresi estetik. kemudian menarasikan dalam bentuk karya seni yang menarik.
Maka muncullah pameran karya seni rupa. dengan tajuk "Hate Speech" di Graha Sastra Keselatan Yogyakarta, berlangsung 7 - 11 Desember 2024.
Inisiator event ruang rupa Taman Sesaji Hangno Hartono menjelaskan ide dasar dan tujuannya. Menurutnya, sesaji bernilai simbolik, pengetahuan rahasia hingga peran penting dalam melindungi ekologi.
Advertisement
"Kami hadirkan pameran seni rupa ini dengan melibatkan 15 perupa Yogyakarta," katanya.
Mereka yang terlibat adalah Agus Suyanto, Arita Sawitri, Bedjo Ludiro, Bedjo Wage Su, Eko Hand, Fio Retno, Guntur Ajisaka, Hangno Hartono, Iwan Wijono, Laksmi Sitoresmi, Sinducater, Suranto Ipong, Tri Suharyanto, Tukirno B Sutejo, Yan Santana. Pameran dikuratori Dr.Hajar Pamadi.M.hons
Dalam paparan pengantar kuratorialnya menjelaskan makna dan pesan filosofis tentang simbol Sesaji dalam kontek karya seni.
"Sesaji lebih dari sekedar uba rampe upacara yang sering kita temukan. Sesaji sesungguhnya juga karya seni yang sarat makna. Yang dikerjakan para seniman taman Sesaji merupakan langkah awal mewujudkan prinsip hidup Hamemayu Hayuning Bawono. Hal ini merupakan lompatan yang penting dalam makrokosmos Jawa," kata Hajar Permadi.
Hal senada yang disampaikan Wahyudi Djaya. SS,M.PD. Menurutnya, leluhur kita adalah generasi yang cerdas, mau dan mampu bersenyawa dengan semesta, mereka hafal vegetasi yang ada di lingkunganya.
"Lalu memanfaatkan beragam kepentingan termasuk Sesaji. Sesaji ini mereka maknai sebagai mekanisme budaya untuk menegosiasikan beragam fenomena alam," kata Wahyudi.
Â
Simak video performance Taman Sesaji di bawah ini:Â
Â
Diskusi
Pameran bertjuk "Hate Speech"Â ini menjadi makin menarik dengan Performance Art para perupa dan diskusi seni.
Diawali penampilan performance Art Kelompok Surya Suketi "Seribu Wajah" oleh Hangno Hartono dan "Bumi Tidak baik-baik saja " yang dilakukan oleh Laksmi Sitoresmi.
Pengamat seni dari ASDRAFI, Mahmud Elqadrie menuturkan dalam performancenya, Laksmi merespon uborampe sesaji kembang macan kerah yang diletakkan di empat penjuru mata angin dan diatasnya ditaruh lilin sebagai penerang empat rangkaian kembang yang melambangkan empat nafsu.
"Nafsu Umarah, Lauwamah, Mutmainah dan Sufiah. Performance ritual ini diharapkan bisa menghilangkan semua godaan nafsu dan menjadikan terang bagi semua manusia," kata MahmudÂ
Usai performance dalam sesi dialog yang dipandu Wenry Wanhar yang sekaligus mengulas performance Art Laksmi Sitoresmi. "Ibu Bumi sedang tidak baik-baik saja" adalah gambaran kerusakan bumi.
"Ketika Bumi hancur, siapakah sebenarnya yang musnah? Perilaku manusia yang gegabah dan serakah mengeksploitasi tubuh ibu Bumi, jelas merusak," kata Wenry.
Sementara itu, perupa Iwan Wijono mengangkat judul "Ritus Sukerta." Iwan Wijono melakukan gerak tari ritual dengan menggigit keris yang diselingi membakar kertas yang berisi tulisan-tulisan tentang tabiat buruk. Mahmud menjelaskan bahwa manusia harus menyingkirkan energi buruk, energi distruktif yang menimbulkan kerusakan di bumi.
Â
Advertisement
Upaya Mendekatkan Diri Kepada Audience
Sedangkan Nanang Arizona yang bertindak sebagai pengulas, menanggapi performance art Ritus Sukerta. Yang dilakukan Iwan Wijono dalam merekontruksi makna sukerta merupakan hal yang menarik. Tersirat pesan yang kuat tentang pentingnya membangun kesadaran tentang nilai-nilai kearifan lokal dalam kehidupan modern.
"Posisi performance art adalah sebagai media ekspresi yang bebas dan mampu memantik pemikiran kritis," kata Nanang.
Pematung Tri Suharyanto dalam sesi performance mengangkat peristiwa "Sesaji terakhir" yang menggambarkan tentang proses perjalanan manusia dari lahir (Maskumambang) sampai kematian (Pucung). Disajikan dalam alur tembang macapat 12 tingkatan dari maskumambang, mijil, sinom, kinanthi, asmaradana, gambuh, dhandanggula, durma, pangkur, megatruh dan Pucung.
Tri Suharyanto melakukan adegan membakar diri dengan api kayu yang disusun secara dramatis. Dibungkus kain putih Tri Suharyanto dimasukan lubang tanah (kubur) lalu ditumpuk kayu yang dibakar
"Yang dilakukan Tri Suharyanto adalah fragmen ritual perjalanan manusia ideal mencapai kematian. dengan diasosiasikan memusnahkan segala energi negatif," kata Mahmud Elqadrie.
Mahmud Elqadrie juga menjelaskan bahwa performance art merupakan ekspresi pertunjukkan yang mengutamakan keauntentikan tersendiri.
"Ia akan mendekatkan hubungan emosional dengan audiennya. Dan apa yang dilakukan Tri Suharyanto merupakan totalitas ekspresi yang langsung dan spontan. Ada sensasi tersendiri saat menjalani proses kreatifnya yang di luar karya tiga dimensi sebagai pematung," kata Mahmud.