Liputan6.com, Jakarta - Kesejahteraan kalangan guru honorer khususnya guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) memang cukup memprihatinkan. Honor setiap bulannya pun ada yang menerima hanya Rp100 ribu saja.
Tentu untuk membeli kuota internet satu bulan saja mungkin langsung habis. Begitulah gambaran nasib yang dialami para guru PAUD nonformal di Kudus, Jawa Tengah.
Tragisnya lagi, guru PAUD nonformal menduduki kasta paling kasihan diantara guru honorer. Sebab guru PAUD nonformal ini belum diakui statusnya sebagai guru oleh pemerintah.
Advertisement
Baca Juga
Kondisi memprihatinkan yang melilit para guru PAUD non formal ini, membuat Ketua Komisi D DPRD Kudus, Mardijanto begitu trenyuh. Bahkan ia menangis terisak, saat mendengar langsung keluh kesah sejumlah guru PAUD.
Kejadian ini terlihat saat Mardijanto menerima audiensi rombongan sejumlah guru yang tergabung dalam Himpunan Pendidi dan Tenaga Pengajar Pendidikan Anak Usia Dini (Himpaudi). Agenda ini berlangsung di ruang VIP Gedung DPRD Kudus, Rabu (18/12/2024).
Ketua Komisi D DPRD Kudus tampak beberapa kali harus mengusap wajahnya yang berlinang air mata. Curhatan guru PAUD yang hanya mendapat gaji sebesar Rp100 ribu per bulan, tak bisa membendung rasa haru Mardijanto.
Ia bahkan harus keluar ruangan untuk menenangkan diri. Setelah dirasa perasaannya tenang, Mardijanto masuk ruangan kembali menemui para guru tersebut.
Saat audiensi berlangsung, para guru PAUD ini menumpahkan keluh kesah mereka dengan minimnya kesejahteraan mereka. Sebab selama ini, guru PAUD nonformal tidak mendapatkan hak setara dengan guru formal.
“Banyak di antara guru PAUD yang gajinya minim antara Rp200 ribu-Rp300 ribu per bulan. Bahkan ada yang hanya mendapatkan Rp100 ribu per bulan,” ujar Ketua Himpaudi Kudus, Munjiwati.
Munjiwati pun berharap DPRD Kudus ikut membantu memperjuangkan kesejahteraan guru PAUD. Yakni untuk bisa mendapatkan tunjangan Honor Kesejahteraan Guru Swasta (HKGS) sebesar Rp1 juta per bulan.
“Kami berharap juga bisa mendapatkan tunjangan HKGS Rp1 juta per bulan seperti yang pernah dijanjikan Bupati dan Wakil Bupati Kudus terpilih,” pinta Munjiwati.
Tak hanya itu, Munjiwati juga mengungkapkan aspirasi Himpaudi terkait Undang-undang Guru dan Dosen. Mereka berharap DPRD Kudus bisa meneruskan aspirasi para guru PAUD yang notabene guru pendidikan nonformal bisa terakomodir dalam kategori guru.
Sebab jika keberadaan guru PAUD ditetapkan sebagai guru, kata Munjiwati, mereka berhak mendapatkan tunjangan sertifikasi dari Pemerintah Pusat.
“Kami berharap DPRD Kudus bisa menyampaikan aspirasi kami ke DPR RI atau Pemerintah Pusat,” tukas Munjiwati.
Simak Video Pilihan Ini:
Guru PAUD Nonformal Tak Diakui, Ada 1.300 Orang
Mujiwati memaparkan bahwa ada sebanyak 1.300 guru yang tergabung dalam Himpaudi Kudus. Seribuan guru tersebut mengajar di 250 lembaga pendidikan. Diantaranya Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitipan Anak (TPA) dan Satuan Paud Sejenis (SPS).
Untuk jumlah total guru PAUD di Kudus, imbuh Munjiwati, ada 2.500 guru yang mengajar di 457 lembaga pendidikan termasuk TK. Sedangkan yang tergabung di Himpaudi ada 1.500 guru, serta yang berstatus ASN hanya 31 orang.
Merespon kondisi itu, Ketua Komisi D DPRD Kudus Mardijanto mengaku siap mengawal aspirasi para guru PAUD tersebut. Ia merasa trenyuh, karena ada guru PAUD yang telah berjasa mendidik anak-anak usia dini, ternyata belum mendapatkan penghargaan yang layak.
“Saya janji, siap mengawal aspirasi para guru PAUD,” janji Mardijanto yang juga politisi Partai Demokrat ini.
Mardijanto menyebut langkah yang bisa diambil yakni mengikutsertakan para guru PAUD sebagai penerima tunjangan HKGS sebesar Rp 1 juta per bulan. Hal itu sebagaimana visi dan misi Bupati-Wakil Bupati Kudus terpilih.
Untuk diketahui, PAUD ini terdiri dari dua jenjang, yakni PAUD formal dan nonformal. PAUD formal ada Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA). Sedangkan PAUD nonformal meliputi Kelompok Bermain (KB), Satuan Paud Sejenis (SPS), dan Taman Penitipan Anak (TPA).
Guru PAUD nonformal menduduki kasta paling kasihan diantara guru honorer. Karena guru PAUD nonformal ini belum diakui statusnya sebagai guru karena terganjal Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Dalam UU itu menyebutkan, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mengajar, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada PAUD jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dari UU tersebut yang diakui sebagai guru adalah guru PAUD di jenjang formal saja. Sementara untuk guru PAUD nonformal masih berstatus pendidik. Untuk kepala sekolahnya sebutannya kepala satuan.
Karena tidak diakui statusnya sebagai guru, mereka tidak mendapat hak-hak istimewa seorang guru seperti mendaftar PPG. Padahal PPG ini adalah senjata pamungkas para guru honorer yang belum lolos PPPK atau PNS.
Usai lolos sebagai PPG, guru akan mendapatkan sertifikat pendidik yang bisa digunakan untuk sertifikasi. Bahkan setiap tiga bulan sekali, sertifikasi ini akan cair kurang lebih 4,5 juta.
Sejak awal munculnya guru penggerak, para guru PAUD nonformal ini seolah hanya menjadi penonton saja. Mereka sama-sama masuk dapodik, namun tidak bisa mendaftar karena instansinya adalah sekolah nonformal.
(Arief Pramono)
Advertisement