Liputan6.com, Mamuju - Sayyang pattudu merupakan tradisi atau pertunjukan kuda penari yang ada di Tanah Mandar, Sulawesi Barat. Kuda-kuda dalam tradisi ini dihiasi aksesori dan menari untuk mengarak anak-anak yang telah khatam Al-Qur'an.
Arak-arakan kuda penari ini menjadi puncak perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dan khataman Al-Qur'an di Tanah Mandar. Mengutip dari indonesiakaya.com, nama sayyang pattuduq berasal dari bahasa Mandar.
Sayyang berarti kuda, sedangkan pattuduq berarti menari. Saat membawa si anak, kuda akan menari dengan menggoyangkan kepala dan kedua kaki depannya, mengikuti irama tabuhan rebana.
Advertisement
Baca Juga
Berada di atas punggung kuda, ada seorang perempuan berpakaian adat Mandar (pokko) duduk dengan anggun. Wanita yang disebut pissawe itu ditemani bocah laki-laki berpakaian ala Arab dengan gamis panjang.
Berada di belakang pissawe, duduk anak-anak yang telah khatam Al-Qur’an. Anak perempuan mengenakan kerudung pandawara, sedangkan anak laki-laki mengenakan sorban dan gamis.
Pissawe yang merupakan simbol tradisi ini harus menaiki kuda dengan anggun tanpa menyentuh tanah. Selama arak-arakan, pissawe harus mempertahankan posisi duduknya yang anggun.
Tradisi sayyang pattuduq memiliki beberapa versi terkait asal-usulnya. Versi pertama mengatakan bahwa tradisi ini telah dimulai sejak abad ke-14, tepatnya pada masa pemerintahan raja pertama Kerajaan Balanipa, Imayambungi, yang bergelar Todilaling.
Versi lain yang lebih kuat mengatakan bahwa tradisi sayyang pattuduq muncul seiring dengan masuknya agama Islam ke wilayah Kerajaan Mandar. Menurut Muhammad Ridwan Alimuddin dalam buku 'Polewali Mandar: Alam, Budaya, Manusia', tradisi sayyang pattuduq diperkirakan bermula pada abad ke-16.
Masa tersebut bertepatan dengan masuknya Islam sebagai agama resmi di beberapa Kerajaan Mandar. Awalnya, tradisi ini hanya berkembang di lingkungan istana.
Sejak awal dilaksanakan, tradisi ini memang menjadi bagian dari perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Adapun pemilihan kuda sebagai sarana pertunjukan dilatarbelakangi oleh cerita kuda sebagai alat transportasi utama pada masa itu.
Sebelum agama Islam masuk di Tanah Mandar, kuda menjadi simbol kekerasan, kekuasaan, kekuatan, dan kemewahan. Namun setelah masuknya Islam, kuda mulai dilatih dan dididik sebagai media pendidikan.
Bahkan, para santri di pesantren-pesantren diwajibkan melatih dan mendidik kuda. Kepiawaian santri dalam melatih kuda hingga patuh dianggap sebagai sebuah keberhasilan, terlepas dari ia telah menyelesaikan seluruh pengajian.
Dari sinilah, sayyang pattuduq mulai berkembang di lingkungan istana kerajaan hingga disakralkan. Pertunjukan ini awalnya hanya digelar pada upacara perayaan maulid Nabi Muhammad SAW, tetapi kemudian berkembang menjadi perayaan bagi anak-anak yang telah khatam Al-Qur’an di setiap kampung di Sulawesi Barat.
Arak-arakan perayaan hafalan Al-Qur’ansayyang pattuduq yang merupakan tradisi arak-arakan kuda penari ini biasanya digelar setelah 12 Rabiul Awal. Acara ini melibatkan puluhan hingga ratusan kuda penari.
Penulis: Resla