Sukses

Tetap Berkarya Meski Terkurung, Ini 7 Penjara yang Pernah Ditempati Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer merupakan sastrawan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui karyanya. Ia juga dikenal sebagai penulis produktif yang aktif menulis kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia.

Liputan6.com, Yogyakarta - Pramoedya Ananta Toer, atau yang lebih dikenal dengan nama Pram, adalah salah satu sastrawan legendaris Indonesia yang lahir di Blora pada tanggal 6 Februari 1925. la telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam 41 bahasa asing.

Pramoedya Ananta Toer juga seorang sastrawan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui karyanya. Ia juga dikenal sebagai penulis yang produktif dan aktif menulis kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia.

Pram menempuh pendidikan di berbagai sekolah, termasuk Instituut Boedi Oetomo di Blora, Sekolah Teknik Radio Surabaya, Taman Siswa, Sekolah Stenografi, dan Sekolah Tinggi Islam Jakarta. Kariernya sebagai penulis dimulai pada masa penjajahan Jepang, di mana ia bekerja sebagai wartawan di Kantor Berita Domei.

Pada 1958, Pram bergabung dengan Lekra, organisasi kesenian yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keputusan ini menjadi awal polemiknya dengan pemerintah dan seniman lain.

Pada masa Orde Baru, Pram ditangkap dan dipenjara selama 10 tahun di Pulau Buru. Pramoedya Ananta Toer tak lepas dari kisah kelam masa penahanannya.

Sejak masa pergerakan kemerdekaan hingga era Orde Baru, Pram harus mendekam di balik jeruji besi di berbagai penjara. Mengutip dari berbagai sumber, berikut tujuh penjara Pramoedya Ananta Toer:

1. Penjara Pertama: Salemba (1947-1949)

Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan besar Indonesia, memang pernah dipenjara di Penjara Salemba pada periode 1948-1949. Penahanannya terkait dengan tuduhan keterlibatannya dalam perlawanan terhadap Belanda selama masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

Menariknya, masa tahanan ini justru menjadi periode yang produktif bagi Pramoedya dalam berkarya. Ia menulis beberapa karya penting selama di penjara, termasuk novel pertamanya yang berjudul Perburuan (1950). Novel ini bahkan memenangkan hadiah pertama dari Balai Pustaka. Selain itu, ia juga menulis kumpulan cerpen Percikan Revolusi selama masa penahanannya.

2. Penjara Kedua: Bukittinggi (1949-1951)

Perjalanan hidup Pramoedya memang penuh dengan berbagai penahanan dan pemenjaraan. Setelah dibebaskan dari Penjara Salemba, ia kemudian ditangkap lagi dan ditahan di Bukittinggi oleh pasukan Belanda. Ini menunjukkan bagaimana situasi politik yang tidak stabil pada masa itu sangat mempengaruhi kehidupan para aktivis dan intelektual Indonesia.

Penahanan di Bukittinggi ini terjadi karena wilayah Sumatera Barat masih berada di bawah kendali Belanda pada waktu itu, meskipun di tempat lain perlawanan terhadap Agresi Militer Belanda II telah berhasil ditumpas. Belanda masih berupaya mempertahankan kekuasaannya di beberapa wilayah strategis, termasuk Bukittinggi yang merupakan salah satu pusat pemerintahan darurat Republik Indonesia.

Meskipun mengalami penahanan berulang kali, semangat Pramoedya untuk menulis dan berjuang melalui karya-karyanya tidak pernah padam. Pengalaman-pengalaman penahanan ini justru memperkaya perspektifnya dan tercermin dalam karya-karya yang ditulisnya kemudian

3. Penjara Ketiga: Glodok (1951-1952)

Pemindahan Pramoedya dari Bukittinggi ke Penjara Glodok di Jakarta terjadi setelah Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Meski Indonesia telah merdeka secara de jure, Pramoedya tetap harus menjalani sisa masa tahanannya di Penjara Glodok sampai akhirnya dibebaskan pada tahun 1952.

Penjara Glodok menjadi penjara ketiga yang ditempati Pramoedya dalam rentang waktu yang relatif singkat (Salemba - Bukittinggi - Glodok). Pengalaman dipindah-pindahkan dari satu penjara ke penjara lain ini tentunya memberikan perspektif yang unik bagi Pramoedya tentang sistem penahanan di masa transisi kemerdekaan Indonesia.

Masa antara 1948-1952 ini bisa dibilang menjadi periode yang sangat menentukan dalam membentuk cara pandang Pramoedya terhadap perjuangan kemerdekaan dan kondisi sosial-politik Indonesia. Meski berada dalam tahanan, semangatnya untuk menulis tetap terjaga, dan pengalaman-pengalaman ini kemudian banyak tercermin dalam karya-karya sastranya. Setelah dibebaskan pada 1952, Pramoedya kemudian aktif dalam kegiatan kepenulisan dan jurnalistik, meski perjalanan hidupnya masih akan diwarnai berbagai penahanan di masa-masa selanjutnya.

 

2 dari 2 halaman

4. Penjara Keempat: Pulau Buru (1969-1979)

Pengasingan Pramoedya ke Pulau Buru memang merupakan salah satu episode paling kelam dalam hidupnya. Ditahan selama 10 tahun (1969-1979) tanpa pernah diadili atau dibuktikan kesalahannya, Pramoedya bersama sekitar 12.000 tahanan politik lainnya mengalami perlakuan yang sangat tidak manusiawi.

Perlu dikoreksi bahwa Pulau Buru sebenarnya terletak di Provinsi Maluku, bukan di Nusa Tenggara Timur. Di pulau terpencil ini, para tahanan dipaksa melakukan kerja paksa seperti membuka hutan, membuat jalan, bercocok tanam, dan membangun infrastruktur dasar.

Bahkan dalam kondisi yang begitu berat, Pramoedya tetap menulis. Karena tidak diizinkan memiliki alat tulis, ia awalnya menyampaikan cerita-ceritanya secara lisan kepada sesama tahanan. Yang paling terkenal adalah Tetralogi Buru - empat novel yang kemudian ia tulis ulang setelah mendapat izin menulis: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Karya-karya ini menjadi masterpiece yang mengangkat nama Pramoedya di kancah sastra internasional.

5. Penjara Kelima: Rumah Sendiri

Setelah pembebasan dari Pulau Buru pada 1979, Pramoedya memang ditempatkan dalam status tahanan rumah sampai 1992, bukan dipenjara di institusi formal. Selama periode tahanan rumah ini, meski geraknya dibatasi dan harus melapor rutin ke pihak berwenang, Pramoedya justru melanjutkan karya-karyanya.

Tetralogi Buru - yang terdiri dari Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988) - merupakan pencapaian luar biasa yang ia selesaikan selama masa tahanan rumah ini. Novel-novel ini sebenarnya sudah ia konsepkan secara lisan saat di Pulau Buru, kemudian ia tulis ulang dan sempurnakan setelah kembali ke Jakarta.

Ironisnya, meski karya-karya ini mendapat pengakuan internasional dan bahkan diterjemahkan ke berbagai bahasa, pemerintah Orde Baru melarang peredarannya di Indonesia. Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa hanya beredar beberapa bulan sebelum dilarang pada 1981. Larangan ini berlaku untuk semua karya Pramoedya dan baru dicabut setelah jatuhnya rezim Orde Baru.

6. Penjara Keenam: Nirbaya (1980-1988)

Pramoedya Ananta Toer mengalami masa penahanan yang panjang dan berat. Pada tahun 1980, ia dipindahkan ke Penjara Nirbaya, yang sekarang dikenal sebagai Lapas Narkotika Jakarta. Di penjara inilah, Pramoedya menghabiskan waktu selama delapan tahun.

Kondisi penahanan yang sulit dan penuh tekanan tentu saja sangat menguji fisik dan mental beliau. Akan teapi, semangat juang dan keteguhan hati Pramoedya tidak pernah padam.

7. Penjara Ketujuh: Cipinang (1995-1996)

Meskipun sempat merasakan kebebasan setelah penahanan panjang di Lapas Narkotika Jakarta, Pramoedya Ananta Toer kembali harus menghadapi cobaan berat. Pada tahun 1995, beliau ditangkap dan ditahan di Penjara Cipinang atas tuduhan makar.

Tuduhan ini tentu saja sangat tidak berdasar dan mengundang kecaman dari berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri. Pramoedya kembali merasakan dinginnya jeruji besi selama satu tahun sebelum akhirnya dibebaskan pada tahun 1996.

Penulis: Ade Yofi Faidzun

Video Terkini