Sukses

Gelung Ukel Tekuk Solo, Gaya Rambut Sekaligus Representasi Pertumbuhan Wanita Jawa

Awalnya, gaya rambut ini dikenakan dalam lingkungan Keraton Ngayogyadiningratan dan Keraton Kasunanan Surakarta oleh para putri kerajaan dan wanita bangsawan.

Liputan6.com, Yogyakarta - Gelung ukel tekuk Solo merupakan gaya rambut wanita yang melambangkan keanggunan, keseimbangan, dan pertumbuhan hidup perempuan Jawa. Gaya rambut ini dapat dikenakan oleh berbagai lapisan masyarakat dengan beberapa aksesori dan pakaian sebagai pembeda.

Mengutip dari indonesiakaya.com, gelung ukel tekuk menjadi salah satu contoh penting yang menunjukkan perkembangan tata rambut dalam masyarakat Jawa. Awalnya, gaya rambut ini dikenakan dalam lingkungan Keraton Ngayogyadiningratan dan Keraton Kasunanan Surakarta oleh para putri kerajaan dan wanita bangsawan.

Seiring berjalannya waktu, gaya rambut ini pun mulai digunakan oleh kalangan masyarakat umum, termasuk permaisuri, selir, putri-putri raja, dan para inang pengasuh. Namun, penggunaan keduanya memiliki perbedaan yang terletak pada ragam aksesori serta pakaian yang dikenakan.

Selain berfungsi sebagai hiasan rambut, gelung ukel tekuk Solo juga menjadi lambang transisi seorang gadis menuju kedewasaan. Seorang wanita yang mengenakan gelung ini berarti telah melewati masa kanak-kanak.

Melalui gelung ini, seorang gadis diibaratkan sebagai bunga yang mekar. Bentuknya bulat dan rapi, melambangkan keanggunan dan keseimbangan hidup seorang wanita yang bersiap menjadi ibu rumah tangga. Gelung ukel tekuk Solo merupakan representasi dari pertumbuhan, keanggunan, dan komitmen wanita Jawa dalam menjalani peran sosialnya.

Gelung ini boleh dikenakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Namun, aksesori dan pakaian yang dikenakan harus disesuaikan dengan usia dan keperluan senagai simbol status sosial wanita yang menggunakannya.

Putri remaja biasanya mengenakan gelung ini dengan hiasan peniti ceplok di tengah dan peniti renteng di sisi kanan dan kiri sanggul. Gelung tersebut dipadukan dengan kain garis miring (pinjung kencong). Kain ini biasanya dikenakan saat menghadap raja pada hari ulang tahun sang raja.
Sementara itu, putri dewasa mengenakan gelung ini dengan kain semekan atau kain seredan setelah menikah. Ini menjadi bagian dari pakaian sehari-hari di lingkungan keraton.

Dalam acara resepsi di luar keraton, gelung ini juga dikenakan oleh pengiring raja. Mereka biasanya memadukan gelung ini dengan pethat emas, bunga ceplok jebehan, kain batik wion, dan kebaya beludru maupun sutra.

 

2 dari 2 halaman

Ada di Kudus

Gelung ukel tekuk gaya Solo ternyata juga bisa ditemukan di Kudus. Namun, terdapat ciri khas di Kudus, yakni dengan penggunaan caping kalo.

Caping kalo merupakan sebuah topi tradisional yang awalnya dikenakan oleh para petani tembakau. Caping ini menggambarkan betapa kebudayaan Kudus cenderung lebih mengikuti tradisi Keraton Solo daripada Keraton Yogyakarta.

Hal ini disebabkan oleh faktor sejarah dan pengaruh politik yang kuat. Sejak masa Kesultanan Mataram, daerah-daerah di sekitar Solo telah terpengaruh oleh kebudayaan dan politik Keraton Surakarta, termasuk Kudus.

Setelah Perjanjian Giyanti pada 1755, Kudus tetap berada di bawah pengaruh kuat Kasunanan Surakarta. Padahal, perjanjian itu membagi Kesultanan Mataram menjadi dua, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Selain caping kulo, hubungan Kudus dengan Keraton Solo dipererat melalui seni dan tradisi, mulai dari wayang kulit, gamelan, upacara-upacara adat, seni ukir, batik, hingga struktur sosial Kudus.

Sebagai tambahan aksesori sekaligus penguat, biasanya ditambahkan dua tusuk konde. Seiring berjalannya waktu, caping ini telah mengalami transformasi dari alat kerja menjadi simbol budaya dan fesyen lokal.

Caping kalo juga dikenakan dalam berbagai upacara adat hingga menjadi ikon di acara-acara budaya, seperti Kudus Fashion Week. Caping kalaupun menjadi ciri khas penggunaan gelung ukel tekuk gaya Solo yang dikenakan di Kudus.

 

Penulis: Resla

Video Terkini