Sukses

Genjer-Genjer, Perjalanan Lagu Kritik Sosial dan Larangan Politik

Liriknya menceritakan bagaimana masyarakat beradaptasi dengan kesulitan pangan hingga harus mengonsumsi tanaman genjer, sejenis tumbuhan air yang sebelumnya dianggap sebagai gulma. Kisah ini menjadi potret perjuangan rakyat menghadapi kerasnya masa penjajahan.

Liputan6.com, Yogyakarta - Di tengah dinamika sejarah Indonesia, lagu Genjer-Genjer memiliki kisah yang mencerminkan kompleksitas perjalanan bangsa. Lagu ini diciptakan oleh Muhammad Arif, seorang seniman Banyuwangi pada tahun 1942.

Mengutip dari berbagai sumber, lagu ini awalnya lahir sebagai bentuk kritik sosial terhadap penjajahan Jepang, ditulis dalam bahasa Using, bahasa lokal masyarakat Banyuwangi. Dalam konteks historisnya, lagu ini menggambarkan realitas pahit kehidupan petani Jawa di masa pendudukan Jepang.

Liriknya menceritakan bagaimana masyarakat beradaptasi dengan kesulitan pangan hingga harus mengonsumsi tanaman genjer, sejenis tumbuhan air yang sebelumnya dianggap sebagai gulma. Kisah ini menjadi potret perjuangan rakyat menghadapi kerasnya masa penjajahan.

Setelah kemerdekaan Indonesia, perjalanan lagu Genjer-Genjer mengambil arah yang berbeda ketika Muhammad Arif bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Memasuki awal dekade 1960-an, lagu ini mulai mendapatkan popularitas yang lebih luas ketika dibawakan oleh paduan suara Lekra Banyuwangi.

Momentum popularitasnya semakin meningkat setelah dinyanyikan oleh artis-artis terkenal seperti Bing Slamet dan Lilis Suryani. Penyiaran lagu ini melalui televisi dan radio semakin memperluas jangkauan pendengarnya.

Akan tetapi, popularitas ini membawa konsekuensi yang tidak terduga ketika lagu tersebut mulai mendapatkan makna politik baru. Partai Komunis Indonesia (PKI) mengadopsi lagu ini dalam berbagai kegiatan mereka yang mengubah persepsi publik terhadap makna asli lagu tersebut.

Titik balik dalam sejarah lagu ini terjadi setelah peristiwa G30S 1965. Pemerintah Orde Baru mengeluarkan larangan terhadap lagu Genjer-Genjer karena dianggap sebagai simbol propaganda komunis.

Larangan ini menciptakan ketakutan di masyarakat, hingga muncul anggapan bahwa menyanyikan atau memperdengarkan lagu ini bisa berakibat fatal bagi keselamatan seseorang. Selama lebih dari tiga dekade masa Orde Baru, lagu ini menjadi salah satu karya seni yang paling diawasi.

Meskipun awalnya diciptakan sebagai kritik sosial terhadap penjajahan Jepang, asosiasi politiknya dengan PKI mengubah cara masyarakat memandang lagu ini. Larangan resmi terhadap lagu ini berlangsung hingga berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998.

Pasca reformasi 1998, meskipun larangan formal terhadap lagu Genjer-Genjer telah dicabut dan kini dapat didengarkan secara bebas, dampak stigmatisasi politik masih terasa. Lagu yang awalnya merupakan ekspresi penderitaan rakyat ini tetap membawa beban sejarah yang kompleks dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia.

 

 

Penulis: Ade Yofi Faidzun

Video Terkini