Liputan6.com, Yogyakarta - Pada tahun 1959, sebuah peristiwa terjadi di jalanan Pekalongan yang menunjukkan bahwa hukum berlaku setara bagi semua orang, bahkan seorang raja sekalipun. Kisah ini bermula ketika sebuah sedan hitam melintasi jalur yang salah di kota tersebut.
Di balik kemudi, tanpa diketahui siapa pun, duduk sosok Sri Sultan Hamengkubuwono IX (Sultan HB IX) yang sedang melakukan perjalanan sendirian menuju Tegal. Royadin, seorang polisi lalu lintas yang bertugas saat itu, melihat pelanggaran tersebut dan segera mengambil tindakan.
Mengutip dari berbagai sumber, ia memberhentikan kendaraan dan meminta pengemudinya untuk keluar tanpa ragu sedikit pun. Momen berikutnya mengejutkan Royadin, ketika ia memeriksa surat-surat kendaraan dan menyadari bahwa pengendara yang ia tilang adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Raja Yogyakarta sekaligus pahlawan nasional Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
Situasi ini menempatkan Royadin dalam posisi yang tidak mudah. Tangannya gemetaran dan jantungnya berdebar kencang saat menuliskan surat tilang.
Akan tetapi, prinsip keadilan dan integritas yang tertanam dalam dirinya mendorong Royadin untuk tetap menjalankan tugas, meskipun yang dihadapinya adalah seorang raja. Sri Sultan Hamengkubuwono IX sendiri menunjukkan keteladanan yang luar biasa dalam menghadapi situasi tersebut.
Sang Sultan tidak menunjukkan resistensi atau menggunakan pengaruhnya untuk menghindari sanksi. Sebaliknya, Sultan memperlihatkan sikap hormat terhadap hukum dengan menerima surat tilang dan menandatanganinya tanpa protes.
Setelah kejadian tersebut, Royadin dilanda kekhawatiran akan dampak tindakannya terhadap karier dan masa depannya. Ia mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, termasuk ancaman mutasi.
Akan tetapi, takdir berkata lain. Beberapa waktu kemudian, sebuah surat resmi dari Keraton Yogyakarta tiba di kediaman Royadin.
Isi surat tersebut mengejutkan Royadin dan keluarganya. Alih-alih sanksi atau teguran, Sri Sultan Hamengkubuwono IX justru mengundang Royadin beserta keluarganya untuk pindah ke Yogyakarta.
Lebih mengejutkan lagi, tawaran tersebut disertai dengan kenaikan pangkat untuk Royadin. Keputusan Sultan ini mencerminkan kebijaksanaan seorang pemimpin yang menghargai integritas dan ketegasan dalam menjalankan tugas.
Bagi Sultan Hamengkubuwono IX, tindakan Royadin bukan dipandang sebagai penghinaan, melainkan sebagai bukti adanya aparat yang berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Peristiwa ini juga mematahkan stigma bahwa penegakan hukum selalu tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Melalui sikapnya, Sultan Hamengkubuwono IX tidak hanya menunjukkan penghargaan terhadap hukum tetapi juga memberikan penghargaan kepada aparat yang berani menegakkannya.
Penulis: Ade Yofi Faidzun