Liputan6.com, Bandung - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold pada Kamis (2/1/2025).
Diketahui ketentuan ambang batas tersebut ada dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusannya dilakukan karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Baca Juga
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo.
Advertisement
Wakil Ketua MK, Saldi Isra dalam sidang perkara 62/PUU-XXI/2023 menyampaikan pertimbangan putusan tersebut dilakukan karena dinilai hanya menguntungkan partai politik tertentu.
“Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase tersebut lebih menguntungkan partai politik besar atau setidak-tidaknya memberi keuntungan bagi partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR,” ucapnya di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Saldi juga menyampaikan adanya ketentuan ambang batas pencalonan presiden membuat masyarakat dibatasi dalam menggunakan hak pilihnya karena tidak cukup banyak alternatif pilihan pasangan calon yang ditawarkan.
Pihaknya juga mengatakan adanya ketentuan ambang batas sebagai syarat mengusung pasangan calon dapat membuat pemilu hanya diikuti oleh beberapa pasangan. Bahkan ada kemungkinan Pilpres kedepannya hanya diikuti oleh satu pasangan calon.
“Kecenderungan demikian paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong,” ucapnya.
Apa Itu Presidential Threshold
Melansir dari beberapa sumber, Presidential Threshold merupakan ambang batas suara yang harus diperoleh partai politik untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Ambang batas suara tersebut menjadi salah satu syarat pencalonan untuk menjadi presiden dan wakil presiden. Adapun ketentuan terkait ambang batas tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 222 yang berbunyi berikut:
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.
Diketahui, aturan tersebut merupakan pasal turunan dari aturan di atasnya yaitu konstitusi UUD NRI 1945 Pasal 6A ayat (2) yang merupakan hasil dari amandemen ketiga yang menyatakan bahwa presiden-wapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol.
Advertisement
Digugat Mahasiswa
Saat ini, ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden dihapus setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait ketentuan tersebut.
Adapun gugatan ketentuan presidential threshold tersebut diajukan oleh empat mahasiswa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dengan nomor perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.
Aktivis Pemilu, Titi Anggraini yang hadir dalam sidang tersebut menyampaikan keempat pemohon yang masih berstatus mahasiswa itu hadir melalui konferensi video karena masih berada di Yogyakarta.
“Yang dikabulkan adalah permohonan nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh sejumlah mahasiswa dari UIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta,” ucapnya.
Sebagai informasi, gugatan tersebut dilayangkan oleh empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta bernama Rizki Maulana Syafei, Tsalis Khoirul Fatna, Enika Maya Oktavia, dan Faisal Nasirul Haq.