Liputan6.com, Semarang - Pemerasan oleh sekawanan oknum polisi dari berbagai tingkatan membuat lembaga penegak hukum ini sigap mengambil tindakan tegas. Mulai dari pemeriksaan di Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) hingga sanksi mutasi langsung dilakukan. Sanksi ini kemungkinan akan bertambah jika pemeriksaan sudah selesai dan ditemukan unsur pidana.
Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna, SH MH menyebutkan bahwa Kapolri sudah bertindak cepat dan tegas. Tindakan diambil tanpa ada laporan dari mereka yang dirugikan. "Ini bentuk paradigma baru, Polri berani menindak internal tanpa menunggu laporan. Ini adalah bagian dari perbaikan itu," kata Henry.
Baca Juga
Henry menanggapi secara serius kasus pemerasan terhadap Warga Negara Asing (WNA) oleh 18 polisi saat menonton Djakarta Warehouse Project (DWP) di JIExpo Kemayoran, Jakarta, beberapa pekan lalu. Menurutnya, banyaknya perwira Polri yang dimutasi menunjukkan keseriusan Pimpinan Polri tidak mentolerir tindakan oknum yang merugikan kepentingan masyarakat. "Ada semacam aturan bahwa siapapun anak buahnya yang bersalah, dua tingkat di atasnya akan ikut bertanggungjawab," kata Prof Henry.
Advertisement
Ia juga meminta masyarakat tak langsung melakukan generalisasi bahwa perilaku oknum tersebut menjadi perilaku institusional kepolisian. Ini karena polisi yang baik dan sangat baik masih berlimpah. "Salah satu buktinya, mereka masih mau memeriksa dan tak melindungi sejawatnya atas tindakan yang melanggar hukum," katanya.
Tindakan mutasi dan pencopotan jabatan itu dinilai proporsional. Tentu saja sifatnya sementara sambil menunggu pemeriksaan oleh Divisi Propam. Dari hasil pemeriksaan itu nanti akan dilihat yang benar-benar terlibat aktif dan ikut berkontribusi dalam pelanggaran maka akan mendapatkan konsekuensi hukum dan peraturan karena jabatannya.Â
Prof Henry kemudian menyebutkan sebuah pepatah kuno yang menyebabkan bahwa seburuk-buruknya polisi, masih jauh lebih bagus daripada tak ada polisi. "Polisi yang buruk tetap berguna dibandingkan jika tak ada polisi sama sekali. Prof Mahfud MD juga pernah mengatakan ini," kata Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.Â
Berulang
Pemerasan ini bisa menjadi pintu masuk mengungkap sesuai yang salah dalam tubuh polisi secara kelembagaan. Sejauh ini perilaku memeras oleh oknum polisi sudah terlalu banyak diungkap masyarakat. Tindakan sanksi juga sudah diambil. Namun hal itu nyatanya terus berulang, seolah tak pernah berhenti. "Saya melihat ada semacam kebiasaan yang dinormalisasi atau dianggap normal. Tiap kali masyarakat berurusan dengan polisi, yang dipikirkan pertama adalah menyuap. Ini adalah gejala yang tidak sehat," katanya.
Saat ini jumlah polisi di Indonesia sejatinya sudah mendekati angka ideal. Yakni 1:213. Idealnya rasio perbandingan adalah 1:225. Artinya satu orang polisi mengawasi dan melayani 225 warga. Namun jumlah besar ini menjadi sia-sia karena ulah oknum-oknum yang justru memperburuk citra Kepolisian yang beberapa peristiwa telah terungkap melibatkan oknum polisi nakal. "Mari kita sportif melihat lingkungan para polisi. Adakah yang mengutamakan hidup bermewah-mewah dan menjadikan temannya iri? Jangan sampai ada anggapan dan stigma adanya lahan basah dan kering di polisi," katanya.
Dalam catatannya, para polisi yang melanggar dan terlibat pemerasan selalu dari satuan yang sama. Angka tertinggi memang berasal dari Satlantas atau Satuan Lalu Lintas. Seiring berbagai kebijakan yang membatasi interaksi polisi lalu lintas dengan masyarakat berkaitan pelanggaran lalu lintas maka angkanya juga turun.Â
Untuk itu, Prof Henry mengapresiasi Pimpinan Polri telah mengandalkan digitalisasi dalam kinerja Satlantas dalam pelayanan terkait pembuatan SIM maupun pelanggaran tilang yang tidak melibatkan anggota secara langsung. Tetapi memakai E-tilang atau denda tilang elektronik. Sementara itu Satuan Reserse dan Kriminal yang terbagi dalam Reskrimum dan Reskrimsus serta Resnarkoba juga selalu disorot publik. "Saya khawatir kalau ada tindakan rekayasa khususnya dalam satuan narkoba, bisa jadi itu bagian dari skenario pemerasan," katanya.
Idealnya Kapolri mengevaluasi secara menyeluruh catatan publik ini. Mulai dari rekruitmen yang mungkin masih ada suap menyuap, pembinaan harian, hingga penegakkan aturan. Seperti diketahui kasus ini dapat terungkap berawal Ilham (26), bukan nama sebenarnya, warga negara Malaysia, menjadi korban dugaan pemerasan oleh oknum polisi saat menghadiri DWP 2024 di Jakarta International Expo Kemayoran.Â
Saat menyaksikan penampilan Steve Aoki, Ilham ditarik oleh seseorang yang mengaku polisi dan diminta mengikuti pemeriksaan. Paspor Ilham ditahan dengan alasan pemeriksaan administrasi, dan ia diminta menjalani tes kesadaran. Namun, paspornya tidak dikembalikan hingga rekannya yang juga memberikan uang Rp 200 ribu kepada oknum polisi tersebut. Setelah itu, paspor Ilham baru dikembalikan. Kabar yang beredar total pemerasan tersebut menghasilkan angka yang fantastis, mencapai Rp 32 miliar.
Advertisement