Sukses

Memaknai Festival Durian Teluk di Jambi: Bukan Sekadar Buah, Tapi Sarat dengan Budaya Lokal

Festival Durian Teluk 2025 Di Desa Teluk, Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari, menjadi salah satu cara untuk melestarikan kebun durian berusia ratusan tahun dari alih fungsi. Festival ini juga dimaknai bahwa durian bukan sekadar buah, tapi punya nilai kebudayaan yang perlu dilestarikan.

Liputan6.com, Jambi - Puluhan batang durian berusia seratusan tahun menjulang tinggi. Di bawahnya belasan teratak--pondok kecil terbuat dari bambu memajang buah durian. Lalu lalang pengunjung menghampiri teratak, di mana si raja buah itu digantung, ditumpuk berjejer, dan ditampilkan dalam gelaran Festival Durian Teluk 2025 di Desa Teluk, Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari, Jambi, Sabtu (4/1/2025).

Kebun durian yang terletak tak jauh dari sungai Batanghari itu, sedari pagi sudah ramai pengunjung. Semakin siang pengunjung dari berbagai daerah semakin ramai berdatangan.

Para pengunjung harus rela melewati jalan becek berlumpur sejauh satu kilometer. Namun sebagian besar pengunjung ada yang dilangsir menggunakan kendaraan dobel gardan untuk sampai ke lokasi.

"Dua hari kemarin hujan, jadi jalannya becek. Kalau enggak hujan jalan ini kering bagus," kata Warga Desa Teluk Sapri.

Meski kondisi jalan becek karena faktor alam, tak menyurutkan pengunjung menikmati berbagai sajian dalam festival tersebut. Selain menikmati durian yang jatuh dari pohon, tamu undangan dan para pengunjung juga disajikan hidangan makan merawang atau makan ramai-ramai.

Menu makan merawang itu adalah olahan durian yang disambal dengan ikan teri menjadi sajian yang tak boleh dilewatkan. Sambal durian ikan teri dipadukan dengan sambal cempokak dan gulai daun singkok itu disajikan dengan nasi putih.

Usai makan merawang, saatnya para pengunjung menikmati durian yang disajikan di bawah tratak. "Diimbau kepada yang jual durian, harganya harga kebun. Jangan disamakan dengan harga durian diluar dan di kota," seoarang panitia berbicara lewat pelantang suara.

Festival Durian Teluk 2025 ini boleh dikatakan festival satu-satunya festival durian yang pertama kali digelar di Kabupaten Batanghari. Festival yang digelar selama dua hari (4-5 Januari 2025) itu diinisiasi Warga Desa Teluk bekerjasama dengan Universitas Jambi. 

Dalam festival itu juga digelar kegiatan yang mengangkat budaya lokal seperti lomba permainan tradisional, lelang durian hingga pertunjukan tari kreasi. 

Festival Durian Teluk itu mengangat tema besar "ke aek cemetik keno, ke darat durian gugur" yang sarat akan makna. Seloko ke aek cemetik keno, ke darat durian gugur itu bermakna ketika kita pergi ke air atau sungai akan mendapat ikan, begitu pula ketika kita ke darat akan mendapatkan durian. Seloko ini menggambarkan keadaan negeri yang elok, dan menyenangkan hati karena dilimpahkan berkah alam.

Dosen Prodi Sendratasik Universitas Jambi Masvil Tomi mengatakan, Festival Durian Teluk 2025 yang baru pertama kali digelar ini bisa jadi untuk memacu pengembangan budaya lokal. Dalam festival tersebut dimaknai bahwa durian bukan sekadar buah.

"Tapi dari durian yang ada di kampung sini bisa menjadi wahana untuk masyarakat mengembangkan kebudayaan lokal, tidak sekadar buah saja," kata Masvil yang juga pendiri Makara Dwipa, sebuah organisasi nirlaba yang fokus pada isu kebudayaan di Jambi.

Durian yang selama ini dikenal sebagai raja buah sarat akan kebudayaan lokal. Misalnya kata Masvil, di Desa Teluk bahwa keberadaan durian sudah diwariskan turun temurun dari buyut mereka. Hal ini terbukti saat ini masih banyak ditemukan batang durian berusia ratusan tahun.

Keberadaan batang durian berumur ratusan tahun sampai saat ini masih terus dijaga, meski ditengah gempuran alih fungsi kebun kelapa sawit dalam satu dekade terakhir. Menurut Masngo--sapaan akrab Masvil Tomi, kebun-kebun durian yang diwariskan oleh nenek moyang penduduk desa setempat bisa menjadi aset dan kedepan layak dikembangkan sebagai festival kebudayaan lokal. 

"Festival kebudayaan berbasis masyarakat seperti ini adalah festival yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Ini sangat penting dan harus berbasis masyarakat, sehingga masyarakat pun nantinya punya tanggung jawab untuk terus melestarikan dan menjaganya. Namun demikian pemerintah juga tidak boleh nutup mata, harus mendukung," ujar Masvil.

"Festival ini diharapkan bisa menguntungkan bagi masyarakat, bagi secara ekonomi dan pelestarian budayanya," sambung Masvil.

Puncak musim durian di Desa Teluk terjadi minggu kedua awal tahun. Namun, puncak musim kali meleset dari prediksi akibat faktor cuaca. Di penghujung tahun buah durian sudah banyak berguguran. "Hitungan normalnya itu durian gugur selama 40 hari. Sekarang (buah di batang) sudah mulai habis," kata Kepal Desa Teluk Abdus Somad.

Khusus di Desa Teluk, ada banyak macam jenis durian dengan nama-nama kampung. Mula dari jenis durian gigi buayo, durian cipuri, durian tembago, duren terung, durian kunyit. Yang paling khas dan sulit dicari itu durian tembago dan cipuri.

"Di sini umur batang durian berkisar antara 150-250 tahun, kita tanya ke orang tua kita durian itu sudah ada sejak buyut kami," kata Somad.

 

2 dari 3 halaman

Membendung Alih Fungsi Kebun Durian

Kepala Desa Teluk Abdus Somad menjelaskan festival ini digelar didasarkan pada keresahan kalahnya pamor durian dengan komoditi kelapa sawit. Sehingga, melalui festival ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran warga untuk melestarikan kebun durian tinggalan buyutnya di kampung.

"Durian khususnya di desa kami kalau tidak dirawat nanti akan semakin langka," kata Abdus Somad.

Keberadaan batang durian di desanya kata Abdus Somad, kebanyakan durian tua. Pada masa itu, durian di sana diwariskan secara turun temurun oleh buyut mereka. Orang-tua di kampung selalu berpesan supaya batang durian tidak dijual, apalagi ditebang.

"Di sini kebun durian punya perorangan, ada juga milik keluarga. Itu kebanyakan diwariskan oleh buyut mereka yang disebut durian pusako, jadi harus dijaga," ujar Somad.

Melalui Festival Durian Teluk ini, Abdus Somad berharap bisa menjadi pedongkrak untuk memajukan desa lewat program kebudayaan. Tak hanya mengusung durian, gelaran festival juga dirangkai dengan kearifan setempat. Selain untuk melestarikan tanaman durian dan budayanya, festival ini sebagai bentuk meningkatkan ekonomi warga berbasis wisata.

"Sekarang masyarakat kami sudah mulai sadar. Kebun durian diibersihkan, dan sama-sama dirawat. Mita kerjasama dengan Unja untuk memetakan dimana spot-spot yang bisa dikembagkan untuk wisata dan budaya. Ada konsep yang sudah kami bikin," sambung Somad.

Selain untuk mengangkat budaya lokal, gelaran festival ini juga sebagai salah satu cara untuk membendung alih fungsi kebun durian menjadi kebun kelapa sawit. Dalam satu dekade terakhir, luas kebun durian berkurang 50 hektare karena alih fungsi. Kini kebanyakan durian di sana terhimpit dengan sawit.

"Sekarang kita juga kerjasama dengan Unja sedang menyusun Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur supaya tidak terjadi alih fungsi kebun durian," ucap Somad.

Menurut catatan Somad, saat ini luas kebun durian di Desa Teluk tercatat seluas sekitar 210 hektare yang lokasinya terpisah-pisah. Saat musim puncak durian sekitar 7.000 buah durian keluar dari desa per hari. Durian tersebut kebanyakan dibeli langsung oleh tengkulak yang datang.

Lewat festival ini kedepan, pihaknya akan mengonsep paket wisata nunggu durian. Nantinya akan kebun durian dengan pondok tratak dengan fasilitas yang memadai dilengkapi dengan toilet. 

"Kami punya konsep nanti ada paket wisata nunggu durian malam-malam. Wisatawan bisa sampai puas makan durian. Intinya kita ingin harga durian bisa maksimal dan pembeli tidak kemahalan," ucap Somad.

 

3 dari 3 halaman

Simak Video Pilihan Ini:

Video Terkini