Liputan6.com, Makassar - Anggota DPD RI Al Hidayat Samsu menyoroti rencana Menteri Kehutanan untuk mengubah 20 juta hektare hutan menjadi lahan pertanian dan energi. Menurutnya, rencana itu adalah kado mengkhawatirkan di awal tahun pemerintahan Kabinet Merah Putih.
"Rencana kebijakan ini mengancam keberlanjutan lingkungan, merusak ekosistem yang sudah kritis, dan memarjinalisasi masyarakat adat dari wilayah nenek moyang mereka," kata Al Hidayat Samsu dalam keterangannya, Selasa (6/1/2025).
Visi ini tidak hanya mempercepat penggundulan hutan yang telah menjadi isu serius di Indonesia, tetapi juga menyingkirkan data empiris yang menunjukkan keadaan hutan yang semakin memburuk. Apalagi berdasarkan data Forest Watch Indonesia (2021) menunjukkan bahwa area hutan alami di Indonesia terus menurun yakni dari 106 juta hektare di tahun 2000 menjadi hanya 82 juta hektare pada 2017.
Advertisement
Deforestasi bukan sekadar angka, melainkan bahaya nyata bagi kehidupan masyarakat terutama masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari hutan yang lestari. Banjir dan kekeringan yang salah satunya disebabkan deforestasi yang massif mengakibat jutaan orang menderita.
Menurut data BNPB, sejak tahun 2000, banjir telah terjadi sebanyak 14.545 kali, berdampak pada 33,3 juta jiwa masyarakat di penjuru Tanah Air, mengakibatkan lebih dari 23 ribu orang meninggal, dan menyebabkan ribuan lainnya hilang.
Di sisi lain, kekeringan telah memengaruhi 17,3 juta orang, termasuk petani yang kehilangan sumber penghidupan mereka. Berdasarkan survey BPS, jumlah petani gurem atau petani yang memiliki tanah di bawah 0,5 hektar hingga tidak memiliki tanah terus mengalami kenaikan dari 14 juta orang pada 2013 menjadi 16,89 juta jiwa pada 2023.
Ironisnya, penebangan hutan juga berlangsung di wilayah yang seharusnya dilestarikan. Sebanyak 31 taman nasional, 45 cagar alam, dan 26 suaka satwa dilaporkan telah mengalami deforestasi selama tahun 2023. Kondisi ini menggambarkan kurangnya pengawasan dan ketidakseriusan pemerintah dalam merawat area konservasi.
Tak Ada Keberpihakan
Menurut Al Hidayat, kebijakan ini terlihat lebih memprioritaskan kepentingan pengusaha besar dan investasi besar, tanpa melibatkan masyarakat lokal, petani dan masyarakat adat yang kehidupannya bergantung pada hutan. Pendekatan ini mencerminkan kecenderungan kebijakan yang lebih memprioritaskan keuntungan ekonomi jangka pendek ketimbang keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
"Kebijakan ini lebih menguntungkan segelintir elite ekonomi daripada melindungi rakyat kecil. Kita perlu kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, bukan keuntungan jangka pendek,” ujar Al Hidayat," ucap Senator asal Sulawesi Selatan itu.
Al Hidayat juga menilai bahwa keputusan yang kontroversial ini menunjukkan ketidakpahaman Menteri Kehutanan mengenai isu-isu ilmiah dan ekologi yang mendasar. Sebagai seorang pemimpin, Menteri Kehutanan seharusnya dapat mengutamakan kepentingan lingkungan dan masyarakat di atas segalanya. Sayangnya, kebijakan ini menunjukkan hal yang berlawanan.
"Sudah sepantasnya kita menegur, dan mengutuk rencana Menteri Kehutanan dan meminta pertanggungjawaban mengenai kebijakan yang berpotensi merusak masa depan lingkungan di Indonesia," imbuhnya.
Wacana yang disampaikan oleh Menteri Kehutanan tidak sesuai dengan semangat Presiden Prabowo yang menaruh perhatian besar terhadap perubahan iklim dan komitmen Presiden untuk melindungi hutan kita bagi generasi selanjutnya.
Kami meminta Presiden Prabowo Subianto untuk segera menghentikan wacana rencana alih fungsi 20 juta hektar hutan ini dan mengevaluasi kembali kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan. Pemerintah perlu berkomitmen untuk melindungi hutan di Indonesia, mengutamakan suara masyarakat adat dan lokal, dan memastikan bahwa kebijakan pembangunan tidak merusak lingkungan.
"Hutan merupakan masa depan kita, jsangan korbankan demi keuntungan sekelompok elit kecil!," Al Hidayatan menegaskan.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Advertisement