Liputan6.com, Jakarta - Pengamat ekonomi menilai meskipun memiliki dana lebih, pemerintah tak harus membeli kembali saham (buyback) PT Indosat Tbk (ISAT).
Wacana buyback ISAT dikemukakan kandidat calon presiden (capres) nomor urut 2, Joko Widodo (Jokowi) dalam debat capres yang berlangsung Minggu (22/6/2014) malam lalu.
Pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan, pernyataan capres dari poros Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut jangan diartikan sebagai sebuah keharusan jika ia terpilih menjadi presiden.
"Pak Jokowi bilang, kalau ekonomi Indonesia bagus, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) naik, maka kita mampu beli lagi. Tapi tidak otomatis dibeli," ujarnya di sela-sela Seminar Nasional Asosiasi Realestate Indonesia (REI) di Hotel Pullman, Jakarta, Rabu (25/6/2014).
Menurutnya, jika memang ada niat untuk membeli kembali saham ISAT, pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap kinerja keuangan perusahaan telekomunikasi tersebut. Evaluasi tersebut untuk memastikan apakah jika kembali ke tangan Indonesia, perusahaan tersebut bisa memberikan nilai tambah atau justru sebaliknya, malah menjadi beban.
"Harus lewat evaluasi apakah menguntungkan buat Indonesia. Saya juga tidak mau dikasih Merpati, utangnya lebih banyak dari asetnya. Ini prinsip dasarnya," lanjut dia.
Faisal melanjutkan, sebenarnya aset penting miliki Indosat yaitu satelit telah kembali ke tangan Indonesia. Oleh sebab itu menurutnya pemerintah tidak perlu terlalu memikirkan masalah buyback tersebut.
"Dia punya satelit sama selularnya. Nah, slot satelitnya kan sudah dibeli sama BRI. Jadi sebenarnya satelitnya ini sudah kita amankan, BRI yang beli," jelas dia.
Faisal juga menyatakan bahwa masih banyak hal lain yang bisa dilakukan pemerintah dengan uang yang tersedia nantinya selain hanya untuk membeli kembali Indosat.
"Misalnya ada opsi lain dengan membeli 35 persen saham Telkomsel yang punya SingTel, atau uangnya bisa digunakan untuk yang lain-lain. Jadi tidak otomatis harus beli," tandasnya. (Dny/Gdn)