Liputan6.com, Jakarta - Lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor's menurunkan peringkat kredit utang, saham Bakrie di sektor tambang yaitu PT Bumi Resources Tbk (BUMI) jangka panjang dan skala ASEAN menjadi default dari Selective Default (SD).
Sentimen penurunan peringkat tersebut membuat harga saham PT Bumi Resources Tbk tertekan. Pada penutupan perdagangan saham, Kamis (4/12/2014), harga saham BUMI turun 3,7 persen menjadi Rp 78 per saham.
Pada hari ini, saham BUMI sempat berada di level tertinggi Rp 82 dan terendah Rp 75 per saham. Total frekuensi perdagangan saham sekitar 3.303 kali dengan volume perdagangan saham 2,1 juta lot saham. Nilai transaksi harian saham mencapai Rp 17,2 miliar.
Advertisement
Lalu apa kata manajemen PT Bumi Resources Tbk soal penurunan peringkat utang itu?
Direktur PT Bumi Resources Tbk, Dileep Srivastava menuturkan, harga saham BUMI melemah karena sentimen sektor batu bara yang merosot. Namun Perseroan mengeluarkan sejumlah strategi agar dapat kembali mengangkat harga sahamnya.
Pihaknya akan berupaya menurunkan total utang dari US$ 3,7 miliar pada Juni 2014 menjadi di bawah US$ 2 miliar pada akhir 2015.
Perseroan akan menggenjot produksi batu bara menjadi 100 juta ton pada 2015. Sehingga perseroan diharapkan dapat meningkatkan laba dan dividen.
"Dengan kenaikan setiap harga batu bara sebesar US$ 10 per ton maka tambahan EBITDA BUMI sebesar US$ 7 per don. Bumi pun sudah diarahkan untuk mendapatkan manfaat itu," kata Dileep saat dihubungi Liputan6.com.
Tiga anak usaha PT Bumi Resources Tbk (BUMI) mendapatkan persetujuan untuk menunda kewajiban pembayaran utang (moratorium). Penundaan pembayaran utang ini selama enam bulan yang berlaku untuk upaya hukum dan upaya paksa yang dapat dilakukan oleh kreditor.
Dalam keterangan yang diterbitkan, Selasa 25 November 2014, penundaan pembayaran utang itu berjumlah US$ 1,3 miliar yang diterbitkan oleh tiga anak usaha BUMI yaitu Bumi Capital Pte Ltd, Bumi Investment Ltd dan Enercoal Resources Pte Ltd.
Tiga anak usaha PT Bumi Resources Tbk telah mengajukan permohonan di Singapura untuk mengikuti proses peradilan formal berdasarkan section 210 (10) Undang-undang Perusahaan dari Singapura. Ini sebagai bagian dari upaya merestrukturisasi kewajiban utang tersebut.
"Pengajuan permohonan ini dalam rangka memfasilitasi pembicaraan dengan para pemegang surat utang dan pemegang obligasi dalam rangka melanjutkan upaya restrukturisasi," kata Dileep Srivastava. (Ahm/)