Sukses

Adaro Energy Keruk Batu Bara 56,21 Juta Ton

PT Adaro Energy Tbk mencatatkan produksi batu bara naik 8 persen menjadi 56,21 juta ton pada 2014.

Liputan6.com, Jakarta - PT Adaro Energy Tbk (ADRO) mencatatkan produksi batu bara naik 8 persen menjadi 56,21 juta ton pada 2014 dari target perseroan sekitar 54-56 juta ton.

Produksi batu bara ini dikontribusikan oleh dua anak perusahaan Adaro antara lain PT Adaro Indonesia, dan Balangan Coal melalui PT Semesta Centramas.

Perseroan mampu mencatatkan produksi naik 6 persen menjadi 14,45 juta ton pada kuartal IV 2014. Kenaikan itu didukung oleh kinerja kontraktor baik dan kondisi cuaca normal. PT Adaro Energy Tbk menjual 14,65 Mt batu bara selama kuartal IV 2014 sehingga penjualan tahunan mencapai 57,02 Mt. Batu bara perseroan diminati berbagai pelanggan terutama dari Indonesia dan India.

"Adaro terus menjadi pemasok utama bagi pasar domestik Indonesia, dan tetap berkomitmen untuk mendukung pemenuhan permintaan batu bara yang terus meningkat di Indonesia," ujar Cameron Tough, Investor Relation PT Adaro Energy Tbk, Jumat (30/1/2015).

Pasokan batu bara untuk pelanggan di Indonesia mencapai 22 persen, India sebesar 15 persen, Jepang sebesar 12 persen, China sebesar 10 persen, Korea dan Hong Kong sebesar 9 persen.

Perseroan pun mengharapkan dapat mencatatkan volume produksi mencapai 56-58 juta ton pada 2015. Biaya yang dikeluarkan untuk biaya kas batu bara tidak termasuk royalti mencapai AS$ 31-33 per ton. Ebitda operasional diharapkan mencapai AS$ 550-800 juta.

Cameron menuturkan, pihaknya akan terus berusaha menekan biaya, mempertahankan keandalan pasokan kepada pelanggan dan meningkatkan efisiensi serta produktivitas dalam rantai pasokan batu bara pada 2015.

Meski para regulator di Tiongkok telah mengumumkan syarat-syarat baru terkait kualitas batu bara impor, namun hal itu berdampak terbatas terhadap perseroan. Hal itu karena batu bara perseroan yang tingkat polutannya sangat rendah.

Sementara itu, impor batu bara di India diharapkan terus berkembang pada 2015. Hal itu karena perkiraan pasokan domestik yang lebih rendah dari yang diperkirakan, dan pertumbuhan permintaan secara terus menerus. (Ahm/)