Sukses

Saham Bank Kuasai Pasar Modal RI

Saham PT Bank Central Asia Tbk mencatatkan kapitalisasi pasar saham terbesar di pasar modal Indonesia yang mencapai Rp 343 triliun.

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mencetak rekor. IHSG mampu naik 0,17 persen (9,65 poin) ke level 5.400. Level tersebut tertinggi sepanjang sejarah pasar modal Indonesia. Aliran dana investor asing mencapai Rp 886,1 miliar yang masuk ke bursa saham menjadi penopang penguatan IHSG.

Di kuartal I 2015, IHSG terus mencetak rekor. IHSG sempat mencatatkan rekor pada perdagangan 23 Januari 2015 dengan ditutup ke level 5.323,88. Lalu IHSG kembali mencetak rekor baru ke level 5.342,52 pada 6 Februari 2015.

Penguatan IHSG terus berlanjut pada perdagangan saham 9 Februari 2015 dengan mencatatkan rekor baru ke level 5.348,47. Bahkan sebelum libur Imlek, IHSG kembali cetak rekor ke level 5.390.

Tren penguatan indeks saham saham ditopang dari tiga sektor saham yang kinerjanya melampaui IHSG. Tiga sektor saham itu antara lain sektor saham properti, konstruksi naik 9,37 persen menjadi 574,08, sektor saham perdagangan tumbuh 8,31 persen menjadi 951,61, dan sektor saham keuangan menanjak 7,52 persen ke level 786,69. Sedangkan kinerja IHSG hanya tumbuh 3,31 persen secara year to date menjadi 5.400.

PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) pun masih mencatatkan saham berkapitalisasi besar sepanjang 2015. Kapitalisasi pasar saham PT Bank Central Asia Tbk mencapai Rp 343 triliun atau 6,4 persen dari total kapitalisasi pasar saham bursa sekitar Rp 5.383 triliun.

Lalu disusul kapitalisasi pasar saham PT Astra International Tbk sebesar Rp 318 triliun, atau sekitar 5,9 persen dari total kapitalisasi pasar saham bursa. Di posisi ketiga, ada PT Bank Rakyat Indonesia Tbk yang mencapai kapitalisasi pasar saham sebesar Rp 311 triliun.

Saham bank memang mendominasi untuk saham berkapitalisasi besar. Tak hanya itu saja, di awal 2015 ini, saham bank juga menjadi penggerak indeks saham.

Saham bank penggerak indeks saham itu antara lain saham PT Bank Mandiri Tbk sebesar 12,1 persen, PT Bank Negara Indonesia Tbk sebesar 13,1 persen, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk sebesar 9,2 persen, dan PT Bank Central Asia Tbk sebesar 7 persen.

Tak hanya saham bank, saham barang konsumen seperti PT Unilever Indonesia Tbk juga menjadi penggerak indeks saham. Ditambah sektor saham perdagangan seperti PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA).

Direktur PT Investa Saran Mandiri, Hans Kwee menuturkan, saham bank menjadi penggerak indeks saham didukung dari langkah Bank Indonesia (BI) menurunkan BI Rate/suku bunga acuan. BI memangkas BI Rate sekitar 25 basis poin menjadi 7,5 persen pada Selasa 17 Februari 2015. Meski demikian, BI Rate turun ini hanya sentimen sementara saja.

"Dengan BI Rate turun harapan bank akan lebih baik kreditnya, dan kualitas NPL menjadi lebih baik. Apalagi tahun ini bank-bank besar punya prospek bagus," ujar Hans, saat dihubungi Liputan6.com yang ditulis Minggu (22/2/2015).

Ia menambahkan, prospek bank yang baik tersebut didukung dari proyek pemerintah yang banyak memakai bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). "Bank BUMN akan menjadi lokomotif perusahaan bagi pembangunan infrastruktur Indonesia," kata Hans.

Hans pun merekomendasikan akumulasi beli saham bank ketika melemah.Saham-saham bank yang jadi pilihannya seperti saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI).

Ekonom DBS, Gundy Cahyadi mengatakan, langkah BI menurunkan BI Rate menunjukkan kalau BI mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,7 persen pada 2015.

Pihaknya pun tidak mengharapkan ini menjadi awal dari kebijakan BI untuk melonggarkan moneter. Prospek pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada jangka menengah menjadi sesuatu penting. Ia pun memprediksi sepertinya tidak ada pemotongan suku bunga lagi pada 2015.

"Kunci untuk melihat dampak suku bunga itu juga melihat permintaan domestik. Di awal, memang neraca perdagangan Januari agak membingungkan sementara bank sentral mempertahankan hal optimis dalam kebijakannya, jadi tidak ada yang menyangkal kalau momentum pertumbuhan PDB masih jauh di bawah potensi jangka menengah," kata Gundy. (Ahm/)

Video Terkini