Sukses

Bursa Asia Melemah Setelah Wall Street Terjatuh

Indeks MSCI Asia Pasifik melemah 0,3 persen menjadi 153,32 pada pukul 09.01 waktu Tokyo, Jepang.

Liputan6.com, Tokyo - Saham-saham di kawasan Asia Pasifik (Bursa Asia) melemah menyusul anjloknya bursa saham di Amerika Serikat (Wall Street). Sedangkan bursa saham di China belum buka setelah negara tersebut meningkatkan stimulus moneter dan memperketat aturan pembelian saham dengan uang pinjaman.

Mengutip Bloomberg, Senin (20/4/2015), Indeks MSCI Asia Pasifik melemah 0,3 persen menjadi 153,32 pada pukul 09.01 waktu Tokyo, Jepang. Pada pekan lalu, Indeks MSCI Asia Pasifik sempat menyentuh level tertinggi sejak 2008. Di Amerika, Indeks Standard & Poor 500 turun 1,1 persen pada penutupan Jumat (17/4/2015) lalu, setelah laporan keuangan beberapa emiten menunjukkan hasil yang mengecewakan.

"Investor harus mengalihkan dananya ke kas yang agresif," jelas Kepala Investasi RMG Wealth Management LLP, London, Inggris, Stewart Richardson. Ia melanjutkan, tidak ada jaminan bahwa bursa akan bergerak positif meskipun beberapa negara masih menjalankan kebijakan pelonggaran moneter.

"Banyak bom waktu yang tersimpan dan masih berdetak. Ada kemungkinan untuk meledak kapanpun juga. Ada potensi penurunan kinerja" jelasnya.

Indeks Topix Jepang turun 0,9 persen. Indeks Kospi Korea Selatan turun 0, persen dan Indeks S&P/ASX 200 Australia kehilangan kekuatan 0,1 persen. Indeks IZX 50 Selandia Baru turun 0,6 persen.

Para pemimpin kebijakan moneter China memutuskan untuk tetap melanjutkan stimulus pada rapat yang berlangsung akhir pekan lalu. Selain itu, mereka juga memotong besaran cadangan tunai yang harus disisihkan oleh industri perbankan.

Kebijakan moneter tersebut dikeluarkan beberapa saat sebelum negara tersebut mengumumkan laporan pertumbuhan ekonomi yang hasilnya berada di level terendah dalam enam tahun terakhir.

Bank Sentral China mengumumkan, cadangan yang harus disiapkan oleh industri perbankan turun sebesar 1 persen. Pengurangan kali ini merupakan kedua kalinya dalam 2015 dan terbesar sejak November 2008.

Analis China International Capital Corp, Hanfeng Wang menjelaskan, langkah yang dilakukan China tersebut merupakan salah satu langkah untuk menangkal penurunan pertumbuhan ekonomi. (Gdn)