Â
Liputan6.com, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terpental menjauhi level 4.500 setelah China mengumumkan devaluasi mata uang Yuan. Bursa Efek Indonesia sebagai otoritas pasar modal tidak ikut kelimpungan menghadapi gejolak ini.Â
Â
Seluruh direksi BEI berkumpul menggelar konferensi pers untuk meng-update kondisi pasar saham Indonesia meski baru dilakukan paska IHSG rebound.Â
Â
Direktur Utama BEI, Tito Sulistio mengatakan, bursa saham Indonesia dihantam tiga isu pasar keuangan yang terus berkembang dalam sebulan terakhir. Pertama, spekulasi kenaikan suku bunga acuan The Fed. Kedua, tren penurunan harga minyak mentah dunia dan ketiga, tekanan ekonomi global khususnya negara-negara berkembang. Â Â
Â
"IHSG kena dampak 5,5 persen. Tadinya posisi IHSG paling bawah, tapi sepekan terakhir ada di tengah karena memang semua pasar saham di dunia mengalami penurunan," kata Tito di kantornya, Jakarta, Kamis (27/8/2015).
Â
Merujuk pada datanya, IHSG melorot 5,50 persen pada periode 19 Agustus sampai 26 Agustus 2015. Posisi ini berada di atas bursa saham Singapura, Filiphina, bahkan China yang berada diurutan paling bawah dunia dengan penurunan tajam 22,85 persen. Namun posisi Indonesia berada di bawah bursa saham Malaysia, Thailand, Rusia, dan Brazil. Â
Â
Dilihat dari fundamental ekonomi saat ini dibandingkan krisis 1998 dan 2008, kata dia berbeda. Indonesia masih mencetak pertumbuhan ekonomi positif meski melambat di level 4,67 persen. Sementara di tahun 1998 dan 2008 masing-masing minus 13,10 persen dan 4,12 persen.Â
Â
Indikator inflasi, menurutnya masih terjaga di angka 7,26 persen. Sementara di periode 1998 dan 2008, masing-masing 82,40 persen dan 12,14 persen. Cadangan devisa berada di angka terkuat senilai US$ 107 miliar, sedangkan di periode krisis 1998 dan 2008, masing-masing US$ 17,40 miliar dan US$ 50,2 miliar.
Â
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mencapai 14.123 atau melemah 14,03 persen atau lebih baik dibanding periode krisis sebelumnya yang terdepresiasi 197 persen dan 34,86 persen.Â
Â
"Angka kurs Rp 14 ribu per dolar AS ya tidak happy, tapi hanya terdepresiasi 14 persen lho. Posisi kredit macet (Non Performing Loan/NPL) perbankan kita kuat 2,6 persen, rasio utang pemerintah paling aman 24,7 persen dari PDB, sementara Yunani sampai 150 persen," jelas Tito.Â
Â
Bagaimana kinerja emiten atau perusahaan terbuka yang mencatatkan saham di BEI?
2 dari 2 halaman
Â
Tito mengatakan, dari 20 emiten berkapitalisasi besar, 18 emiten diantaranya masih mencetak keuntungan di paruh pertama tahun ini. Berdasarkan dari seluruh laporan keuangan emiten di semester I 2015, sebanyak 329 emiten atau 73 persen dari total emiten membukukan laba positif.Â
Â
"Memang ada penurunan omzet, tapi 73 persen masih mencetak laba bersih. Sedangkan di periode krisis 1998, 70 persen emiten mengalami rugi. Jadi kita masih yakin bahwa pasar saham serta fundamental ekonomi kita kuat dan sehat," tegas dia. Â
Â
Kejatuhan pasar saham dapat tertahan karena BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeksekusi kebijakan tepat dalam jangka pendek, antara lain :
Â
1. Dari OJK
Â
- Membolehkan pembelian kembali atau buyback saham emiten tanpa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Saat ini telah terdapat beberapa emiten yang telah menyampaikan keterbukaan informasi terkait rencana buyback, seperti ARNA, MEDC, MPMX, dan lainnya.Â
Â
2. Dari BEI
Â
- Melakukan penyesuaian auto-rejection saham (batas bawah maksimal perubahan harga saham adalah 10 persen)
- Meningkatkan kepercayaan dan rasa aman investasi melalui peningkatan Dana Perlindungan Pemodal (DPP) pada SIPF dari Rp 25 juta menjadi Rp 100 juta
- Meningkatkan komunikasi dan koordinasi kepada seluruh stakeholder
- Meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan transaksi di luar ketentuan (aktivitas margin dan short selling)
- Konsisten dalam pengelolaan risiko untuk menjamin kelangsungan sistem perdagangan.
Â
(Fik/Ndw)
Advertisement