Sukses

Pertemuan G20 Beri Dampak Positif untuk RI

Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 berkumpul di Shanghai, China, 26-27 Februari 2016.

Liputan6.com, Jakarta - Komitmen negara-negara yang tergabung dalam G20 untuk menanggulangi perlambatan ekonomi global akan berdampak positif kepada Indonesia. Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 berkumpul di Shanghai, China, 26-27 Februari 2016 untuk membahas mengenai permasalahan ekonomi dunia. 

Analis PT Investa Saran Mandiri Hans Kwee menjelaskan, kondisi Eropa saat ini memiliki likuiditas yang cukup. Dengan adanya komitmen penanggulangan ekonomi global, besar kemungkinan Bank Sentral Eropa (ECB) akan memperpanjang stimulus. Itu berarti, akan terjadi aliran dana masuk (capital inflow) ke negara berkembang salah satunya ke Indonesia.

"Eropa cenderung provide likuiditas sekarang. Kalau G20 sepakat mengatasi perlambatan ekonomi dunia hampir pasti menambah stimulus di Eropa sama Jepang karena dua negara tersebut memang melambat. China tak berkembang dan , Amerika Serikat (AS) ekspansi. Jadi kemungkinan akan menambah stimulus, stimulus ini provide dana yang masuk emerging market termasuk Indonesia," tutur dia kepada Liputan6.com, Minggu (28/2/2016).

Hans mengatakan, aliran dana tersebut tidak terlalu besar. Namun demikian, aliran dana tersebut positif untuk Indonesia. "Belum tahu persis tapi kemungkinan biasa dilakukan memperpanjang stimulus tapi kalau menambah tidak banyak, tapi tetap menambah, ekspektasi pasar berubah," jelas dia.

Meski begitu, kondisi perekonomian global masih rentan, terlebih rencana Inggris keluar dari Zona Eropa. Memang, kondisi itu tidak besar pengaruhnya ke Indonesia. Namun demikian, keluarnya Inggris akan memberi dampak besar ke Eropa.

"Memang saat ini jajak pendapat tipis ada beberapa yang menang, ada yang exit. Mungkin akan sangat ditentukan detik-detik terakhir, tapi belajar pengalaman kayak akan join zona Eropa, akan sesaat menimbulkan guncangan tapi akan keluar dengan baik," kata dia.

Namun, aliran dana masuk tersebut menjadi kekhawatiran sendiri bagi BI karena ada kemungkinan jika dana-dana tersebut tiba-tiba keluar bakal menyeret rupiah kembali ke dalam tren pelemahan.

Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengatakan, Indonesia dihadapkan pada dua situasi ekonomi global yang bertolak belakang. Amerika Serikat (AS) mengetatkan kebijakan moneter, tetapi negara lain justru melonggarkan kebijakan moneter.

"Dengan pengetatan moneter ini, uang akan lari ke AS. Tapi statement dari AS sendiri kelihatannya mulai ragu terhadap kondisi ekonominya, inflasi juga masih rendah. Jadi ini yang membuat kebijakan melebar dan menyempit tahun ini," katanya.

Imbasnya, menurut Juda, aliran dana asing kembali menyerbu negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Tak heran bila capital inflow masuk pada Januari-Februari ini, sehingga mendorong penguatan rupiah. "Saya rasa peluang penguatan rupiah masih akan ada, karena kita masih cukup otimistis inflow akan masuk," katanya.

Meskipun demikian, Juda mengingatkan agar Indonesia tetap waspada terhadap kemungkinan dana asing itu 'pulang kampung'. "Kita harus hati-hati, karena inflow bagai pedang bermata dua. Pada saat sekarang masuk, tapi di akhir tahun atau tahun depan AS melakukan tightening lagi, bisa jadi dana balik lagi. Hati-hati dengan inflow yang masuk sekarang, karena sifatnya jangka pendek," terang Juda. (Amd/Gdn)