Sukses

Dolar AS Menguat Picu Bursa Asia Tertekan

Dolar dan imbal hasil surat utang Amerika Serikat menguat membuat kekhawatiran investor di awal pekan ini.

Liputan6.com, Tokyo - Bursa Asia cenderung bertahan pada perdagangan awal pekan ini seiring kekhawatiran dolar Amerika Serikat (AS) menguat dan imbal hasil surat utang AS meningkat sejak kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS.

Indeks saham MSCI Asia Pasifik di luar Jepang turun 0,1 persen. Indeks saham Jepang Nikkei naik 0,3 persen seiring yen melemah terhadap dolar AS. Sementara itu, indeks saham Korea Selatan Kospi melemah 0,3 persen, dan indeks saham Selandia Baru susut 0,2 persen.

Kemenangan Trump dalam pemilihan presiden yang secara mengejutkan telah mendorong perubahan harga aset investasi. Investor cenderung membeli saham dan dolar AS, dan melepas obligasi serta aset emerging market.

Trump berencana memangkas pajak dan deregulasi aturan mendorong spekulasi pelaku pasar kalau ekonomi AS akan tumbuh dan mendorong inflasi.

Di sisi lain, rencana kebijakan proteksionis Donald Trump akan membebani partner perdagangan AS termasuk emerging market yang akan hadapi penurunan ekspor. Investor pun menunggu apakah Trump akan melaksanakan kebijakannya termasuk memberikan tarif untuk China dan Meksiko.

"Pekan depan, kita akan melihat sejumlah pertemuan yang akan pengaruhi pasar antara lain pertemuan OPEC dan referendum Italia. Kemudian kebijakan Trump," ujar Norihiro Fujito, Senior Invesment Strategist Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities, seperti dikutip dalam laman Reuters, Senin (21/11/2016).

Di pasar obligasi, imbal hasil surat berharga AS bertenor 10 tahun naik menjadi 2,36 persen pada pekan lalu. Kenaikan imbal hasil tersebut mendorong dolar AS. Dolar AS naik menjadi 111,12 terhadap yen, dan itu level tertinggi sejak Juni. Euro diperdagangkan di kisaran US$ 1,05.

Di pasar komoditas, harga minyak naik pada awal pekan ini. Kenaikan harga minyak ditopang dari harapan OPEC akan memangkas produksi. Harga minyak brent naik 1,1 persen menjadi US$ 47,35 per barel.