Sukses

Sentimen Internal Bikin IHSG Melemah Tipis

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,14 persen ke level 5.675 pada perdagangan saham Jumat pekan ini.

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung tertekan selama periode 5 Mei-12 Mei 2017. Sentimen internal membayangi laju IHSG dalam sepekan.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (13/5/2017), IHSG melemah tipis 0,14 persen dari level 5.683 pada 5 Mei menjadi 5.675 pada 12 Mei 2017. Tekanan IHSG itu usai Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama atau Ahok diputuskan vonis dua tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Putusan itu telah mengecewakan investor lokal.

IHSG pun akhirnya konsolidasi selama dua pekan ini. Saham-saham unggulan pun cenderung mendatar. Sedangkan saham-saham kapitalisasi kecil merosot 2,8 persen didorong sektor saham komoditas dan konstruksi.

Namun investor asing masih melanjutkan aksi beli di pasar saham. Aksi beli investor asing ini dapat menopang IHSG di tengah aksi jual oleh investor domestik. Di pasar obligasi atau surat utang pun melemah secara mingguan. Imbal hasil obligasi naik menjadi 7,2 persen. Investor asing melakukan aksi jual untuk pertama kali secara mingguan sejak 17 Maret.

Selama sepekan ada sejumlah sentimen pengaruhi pasar saham global dan IHSG. Dari Amerika Serikat (AS), Presiden AS Donald Trump memberhentikan direktur FBI James Comey seiring penyelidikan terhadap penasihat Trump berkolusi dengan Pemerintah Rusia untuk mengarahkan hasil pemilihan presiden pada 2016. Langkah Trump itu memberi sentimen negatif dengan dolar AS merosot dan imbal hasil surat berharga AS melonjak.

Dari data ekonomi AS, tingkat pengangguran di AS turun menjadi 4,4 persen. Ini terendah dalam 10 tahun. Bank sentral AS atau the Federal Reserve menilai pertumbuhan ekonomi meski melambat, dan hanya tumbuh 0,7 persen pada kuartal I 2017 itu hanya sementara. The Federal Reserve optimistis kalau ekonomi akan tumbuh meski cenderung lamban. Imbal hasil surat berharga AS bertenor 10 tahun pun tercatat 2,36 persen. Selain itu, pelaku pasar juga memperkirakan the Fed akan menaikkan suku bunga pada Juni.

Dari Eropa yang menjadi sorotan pada pekan ini yaitu kemenangan Emmanuel Macron dalam pemilihan Presiden Prancis. Macron mengalahkan Marine Le Pen dengan perolehan suara 66,06 persen. Sedangkan Le Pen hanya peroleh suara 33,94 persen. Macron pun akan hadapi tantangan untuk memenangkan mayoritas suara di parlemen pada pemilihan Juni 2017.

Di pasar komoditas, harga minyak pun melanjutkan kenaikan dari posisi terendah dalam lima bulan. Investor yakin kalau produsen minyak tergabung dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dapat memperpanjang pemangkasan produksi minyak. Harga minyak Brent pun diperdagangkan di level US$ 49,76 per barel.

Sedangkan sentimen internal yaitu hasil sidang Ahok. Majelis Hakim Pengadilan Utara memutuskan Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama atau Ahok bersalah dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Hukuman penjara dua tahun itu merupakan hasil mengejutkan seiring jaksa merekomendasikan untuk menangguhkan hukuman penjara.

Meski demikian, sentimen itu tidak terlalu mempengaruhi investor asing. Tercatat investor asing melakukan aksi beli sekitar Rp 677,53 miliar tetapi laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,2 persen sesudah sidang Ahok.

Ashmore menilai, meski peristiwa ini dapat dianggap sebagai ketidakpastian jangka pendek di pasar, pihaknya percaya kalau perkembangan mikro dan makro ekonomi Indonesia yang kuat menjadi fokus utama investor.

Selain itu, indeks kepercayaan konsumen naik menjadi 123,7 pada April 2017. Indeks itu meningkat 2,2 persen dari 121,5 pada Maret 2017. Ini mengindikasikan optimisme konsumen yang lebih tinggi. Konsumen melihat kondisi ekonomi lebih baik saat ini dilihat dari pendapatan, ketersediaan, lapangan kerja dan pembelian barang tahan lama. Konsumen juga optimistis terhadap kondisi bisnis dan pendapatan dalam enam bulan ke depan.

2 dari 2 halaman

Investor Asing Yakin Pasar Saham RI

Lalu apa yang perlu dicermati ke depan?

Ashmore melihat aliran dana investor asing stabil masuk ke pasar saham pada pekan ini. Tren itu berlanjut sejak pertengahan Maret 2017. Ini menunjukkan negara berkembang memiliki nilai posisi menarik termasuk di Indonesia.

Kepala Riset Global Ashmore Jan Dehn pun menyebutkan sejumlah pendorong utama kinerja di pasar negara berkembang selama beberapa tahun.

Pertama, imbal hasil menarik. Salah satunya Indonesia yang menawarkan imbal hasil 7,1 persen, dan ini lebih tinggi dari inflasi 4,2 persen pada bulan lalu. Sedangkan di emerging market, obligasi pemerintah sekitar 6,5 persen.

Kedua, kenaikan neraca perdagangan dan berjalan. Indonesia mencatatkan neraca perdagangan surplus dalam 15 bulan. Defisit neraca berjalan diperkirakan cenderung turun di kisaran 2,4 persen-2,7 persen.

Ketiga, reformasi struktural secara mendalam. Banyak negara berkembang melakukan reformasi struktural dalam beberapa tahun ini termasuk Kolumbia, Brazil, Argentina, India, Indonesia, Meksiko dan Rusia serta lainnya.

Reformasi ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar lebih cepat. Kalau di Indonesia, salah satu kunci reformasi yang dilakukan baru-baru ini yaitu reformasi pajak. Pemerintah Indonesia melaksanakan program pengampunan pajak atau tax amnesty. Selain itu, kembalinya kredibilitas anggaran pajak di bawah pimpinan Sri Mulyani sehingga mendorong reformasi tersebut.

Keempat, investor asing ambil posisi. Di Indonesia, investor asing terus melakukan aksi beli sejak pertengahan Maret 2017. Ini menunjukkan kalau investor asing tidak terlalu memperhatikan dampak kenaikan suku bunga bank sentral AS.

Pasar saham di negara berkembang pun masih hadapi tantangan ke depan. Jan menilai, pasar negara maju akan menjadi sumber utama volatilitas dalam jangka pendek dan berisiko terhadap negara berkembang. Hal itu, tidak akan berdampak terhadap fundamental jangka panjang di negara berkembang. Kinerja pasar saham negara berkembang masih akan lanjutkan penguatan termasuk Indonesia.

Lalu apa saja yang sering menjadi risiko di pasar saham?

Ashmore menyebutkan China masih menjadi risiko yang dikhawatirkan. Pasar umumnya melihat pasar China tertekan apalagi China memiliki utang terlalu banyak. Namun, China terus menentang prediksi soal ekonomi China berjalan lambat.

Ashmore memang, risiko terhadap China sangat dilebih-lebihkan. Apalagi soal utang, pertumbuhan dan aliran dana investor asing keluar dari China tidak saling terkait.

Selain China, pertumbuhan ekonomi AS juga masih jadi risiko pasar. Pertumbuhan ekonomi AS, dolar, dan suku bunga AS menjadi perhatian pasar. Ashmore memandang, rencana Presiden AS Donald Trump yang akan memangkas pajak cenderung berdampak positif untuk pasar negara berkembang.

"Kemungkinan pemangkasan pajak kecil karena implikasi defisit dan kesulitan memenangkan dukungan dari partai Demokrat. Reformasi pajak yang kecil berarti sedikit stimulus sehingga artinya pertumbuhan, inflasi, dan kenaikan suku bunga akan sedikit. Ini skenario yang menekan dolar AS," tulis Ashmore.

Dengan begitu, AS tidak lagi membutuhkan begitu banyak modal dari luar negeri. Jadi dana keluar dari AS dinilai akan menstabilkan pasar keuangan AS dan membantu bisnis AS untuk bersaing.

Â