Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat selama sepekan. Bahkan IHSG sentuh level tertinggi dalam sejarah di kisaran 6.000.
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (28/10/2017), IHSG menguat 0,77 persen dari periode 5.929,54 pada 20 Oktober 2017 menjadi 5.975,28 pada 27 Oktober 2017.
Penguatan IHSG didorong indeks saham LQ45 naik 0,1 persen secara mingguan. Sementara itu, saham berkapitalisasi kecil menguat 2,1 persen didorong sektor komoditas dan industri dasar.
Advertisement
Investor asing mencatatkan aksi beli US$ 11 juta selama sepekan. Di sisi lain pasar obligasi atau surat utang turun 1,1 persen secara mingguan.
Baca Juga
Imbal hasil surat utang atau obligasi bertenor 10 tahun naik 6,8 persen. Itu didorong nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat merosot ke 13.600. Investor asing melakukan aksi jual mencapai US$ 131 juta di pasar obligasi.
Sejumlah sentimen pengaruhi pasar. Pertama, ada perkembangan reformasi pajak Amerika Serikat (AS). Dewan Perwakilan Rakyat AS mengeluarkan resolusi anggaran dari senat sebagai prasyarat pajak.
Jika disahkan, kebijakan reformasi pajak menjadi salah satu kunci kemenangan. Presiden AS diharapkan menandatangan Rancangan Undang-Undangan (RUU) tersebut, jika semuanya berjalan lancar akan terjadi pada akhir 2017.
Kedua, pertemuan bank sentral Eropa mendapatkan respons netral. Bank sentral Eropa melakukan pertemuan pada 26 Oktober memutuskan memotong pembelian obligasi atau aset bulanan menjadi 30 miliar euro per bulan dari sebelumnya 60 miliar euro.
Euro pun turun 0,5 persen terhadap dolar AS. Sedangkan indeks saham Eropa menguat. Bagaimana pun juga kondisi ekonomi kawasan eurp belum cukup kuat. Meski demikian, ada tanda menggembirakan antara lain pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil mencapai 0,7 persen pada kuartal II.
Selain itu, survei bank sentral Eropa juga menunjukkan kalau ada permintaan pinjaman yang meningkat. Bank sentral Eropa juga dinilai harus fokus pada tingkat inflasi. Tingkat inflasi kawasan euro tetap berada di bawah target bank sentral Eropa hanya di bawah dua persen.
Bank sentral Eropa prediksi inflasi akan turun dari 1,5 persen pada 2017 menjadi 1,2 persen pada 2018. Itu seiring turunnya harga energi.
Ketiga, inflasi Jepang naik 0,7 persen pada September 2017. Ini sama berdasarkan konsensus. Harga makanan yang meningkat mendorong inflasi sedangkan biaya transportasi dan perumahan turun.
Sementara itu,produk domestik bruto (PDB) AS juga menggairahkan pasar. Ekonomi AS tumbuh 3,1 persen pada kuartal II 2017. Angka ini di atas harapan pasar sekitar tiga persen.
Tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut juga terkuat sejak tiga bulan pertama 2015. Selain itu, kinerja keuangan perusahaan di AS juga jadi perhatian pasar.
Kinerja keuangan perusahaan cenderung bervariasi. 82 persen perusahaan melaporkan kinerja melebihi dari yang diharapkan. Sentimen itu juga membantu reli indeks saham di bursa saham AS.
Adapun dari sentimen dalam negeri, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN 2018).
Dalam APBN 2018 terjadi kenaikan target pendapatan negara menjadi Rp 1.894,72 triliun dan belanja negara Rp 2.220,66 triliun. Pendapatan negara Rp 1.894,72 triliun atau naik dibanding asumsi Rancangan APBN sebesar Rp 1.878,4 triliun. Pendapatan itu termasuk penerimaan pajak Rp 1.618 triliun.
Untuk membantu masyarakat menengah bawah, pemerintah alokasikan dana Rp 284 triliun. Angka itu termasuk subsidi energi sekitar Rp 95 triliun. Dana desa sekitar Rp 60 triliun. Kemudian belanja infrastruktur Rp 411 triliun. Selain APBN 2018, kinerja keuangan perusahaan kuartal III 2017 juga menjadi perhatian pelaku pasar.
Mayoritas perusahaan antara lain PT Bank Central Asia Tbk Tbk (BBCA), PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dan bank lainnya melaporkan kinerja tidak mengejutkan untuk kuartal III 2017.
Rata-rata sektor bank melaporkan pertumbuhan laba bersih sekitar 12 persen. Sedangkan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk mencatatkan pertumbuhan 21 persen, dan konsumsi delapan persen. Demikian juga perusahaan properti yang melaporkan kinerja keuangan rata-rata sesuai konsensus.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Selanjutnya
Dengan melihat kondisi itu, apa yang dicermati dan dilakukan ke depan?
Ashmore menyatakan ada sejumlah pertanyaan ketika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai level 6.000, sedangkan imbal hasil surat utang atau obligasi bertenor 10 tahun turun menjadi 6,8 persen.
Ashmore melihat, baik saham dan obligasi masih menarik. Meskipun dua portofolio aset ini dipicu katalis berbeda.
"Kami yakin saham masih menawarkan pertumbuhan, sedangkan fundamental obligasi kini lebih murah. Keduanya menawarkan kenaikan dengan waktu berbeda," tulis Ashmore.
Dengan IHSG mencapai level 6.000 memperkuat kinerja IHSG sebesar 12,8 persen. Memasuki akhir Oktober 2017, konsensus pelaku pasar mulai menanti 2018.
"Potensi pertumbuhan 12-13 persen pada 2018 berdasarkan pertumbuhan laba," tulis Ashmore.
Selain itu, arus dana investor domestik tetap kuat. Investor asing juga sebagian besar akan mengurangi tekanan jualnya. "Kami melihat ada pelemahan yang menjadi kesempatan untuk kembali memasuki pasar saham," tulis Ashmore.
Pasar saham Indonesia juga masih hadapi risiko pergerakan mata uang. Apalagi di tengah menguatnya dolar Amerika Serikat didorong rencana reformasi pajak Amerika Serikat dan pemilihan pimpinan bank sentral AS atau the Federal Reserve.
Advertisement