Sukses

Sektor Saham Konsumsi Angkat Wall Street

Wall Street mampu menguat di tengah isu operasional pemerintahan Amerika Serikat berpotensi tutup.

Liputan6.com, New York - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street akhirnya mampu kompak menguat menjelang akhir pekan. Penguatan wall street terdorong sektor saham konsumsi.

Pada penutupan perdagangan saham Jumat (Sabtu pagi WIB), indeks saham Dow Jones naik 53,71 poin atau 0,21 persen ke posisi 26.071,52. Indeks saham S&P 500 mencatatkan penguatan 12,28 poin atau 0,44 persen ke posisi 2.810,31. Sedangkan indeks saham Nasdaq bertambah 40,33 poin atau 0,55 persen ke posisi 7.336,38.,

Sebelumnya, indeks saham S&P 500 dan Nasdaq sempat membukukan penguatan tertinggi sedangkan Dow Jones melemah didorong saham IBM.

Secara mingguan, indeks saham Dow Jones naik 1,04 persen, indeks saham S&P 500 menguat 0,86 persen dan indeks saham Nasdaq bertambah 1,04 persen.

Saham Philip Morris, Nike, dan Home Depot naik 1,5 persen-4,8 persen. Hal ini didorong pernyataan analis yang memperkirakan pajak lebih rendah dapat meningkatkan pendapatan perseroan.

Sedangkan saham IBM dan American Express bebani indeks saham Dow Jones. Predfiksi laba bersih mengecewakan sepanjang tahun menjadi sentimen negatif untuk kedua saham tersebut. Saham IBM melemah empat persen. Sedangkan American Express tergelincir 1,8 persen.

"Kami telah melihat perkiraan kinerja pada 2018 sehingga memberikan sejumlah kekuatan fundamental yang dimiliki pasar saham," ujar Bill Northey, Wakil Presiden Direktur US Bank Wealth Management, seperti dikutip dari laman Reuters, Sabtu (20/1/2018).

Adapun sembilan dari 11 sektor saham mencatatkan penguatan lebih tinggi. Indeks sektor saham barang konsumsi membukukan penguatan tertinggi 0,9 persen.

Senat AS juga berpacu mencegah berhentinya operasional pemerintahan AS menjelang batas waktu tanpa kesepakatan. Meski DPR memperpanjang pendanaan hingga 16 Februari, Rancangan Undang-Undang (RUU) anggaran pun hampir runtuh di senat.

"Pasar tampaknya melihat peristiwa ini tidak penting meski ada sedikit kenaikan volatilitas dalam beberapa hari terakhir," kata Northey.

Chief Executive E-Valuator Funds Kevin Miller menuturkan, pasar juga sedikit gugup dengan potensi penghentian operasional pemerintahan AS. Namun, kinerja keuangan menjadi sentimen positif. "Dari perspektif jangka panjang, pendapatan perusahaan masih kuat, dan perusahaan terlibat akan ambil manfaat dari reformasi pajak," ujar dia.

Sementara itu, harga minyak turun lebih dari satu persen lantaran kenaikan kembali produksi AS yang sebanding dengan penurunan persediaan minyak mentah.

Volume perdagangan saham di wall street tercatat 6,82 miliar saham. Angka ini lebih rendah dibandingkan rata-rata 6,32 miliar saham selama 20 hari perdagangan terakhir.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

Saham Sektor Industri Hentikan Penguatan Wall Street Kemarin

Sebelumnya, Wall Street terjatuh pada penutupan perdagangan Kamis (Jumat pagi waktu Jakarta) karena kerugian di sektor industri dan sektor yang sensitif dengan perubahan suku bunga. Penguatan di sektor teknologi tak mampu mendorong bursa saham di Amerika Serikat tersebut untuk parkir di zona hijau.

Mengutip Reuters, Jumat 19 Januari 2018, Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 97,84 poin atau 0,37 persen menjadi 26.017,81. Untuk S&P 500 kehilangan 4,53 poin atau 0,16 persen menjadi 2.798,03. Sedangkan Nasdaq Composite turun 2,23 poin atau 0,03 persen menjadi 7.296,05.

Sektor utilitas dan properti masing-masing turun 0,6 persen dan 1 persen. Kedua sektor tersebut bergerak berlawanan dengan imbal hasil oligasi pemerintah berjangka waktu 10 tahun. Saat ini imbal hasil obligasi tengah mencapai level tertinggi dalam 10 bulan sehingga membuat kedua sektor tersebut tertekan.

Saham yang membebani kinerja indeks acuan Dow Jones adalah Boeing dan General Electric. Kedua saham ini turun masing-masing 3,1 persen dan 3,3 persen. Pelemahan saham-saham ini membuat Dow Jones runtuh dari puncak tertinggi di angka 26.000.

"Saya melihat di sini tarik menarik antara seberapa cepat ekonomi tumbuh dan seberapa cepat suku bunga akan naik," jelas analis Edward Jones di St. Louis, Kate Warne.

"Ini menyebabkan volatilitas akan lebih tinggi pada 2018 ini jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya," tambah dia.

Saat ini investor maish tetap menunggu hasil laporan kinerja perusahaan sepanjang 2017. Laporan tersebut akan disesuaikan dengan saham yang sudah tercipta saat ini.