Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) alami koreksi selama sepekan. Hal itu didorong saham berkapitalisasi besar seiring melemahnya bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street.
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, seperti ditulis Sabtu (10/2/2018), IHSG turun 1,86 persen selama sepekan menjadi 6.505,52. Penurunan IHSG didorong saham-saham berkapitalisasi besar terutama masuk saham LQ45. Saham kapitalisasi besar turun 1,28 persen selama sepekan. Tekanan IHSG juga tak lepas dari koreksi tajam yang terjadi di wall street.
Tekanan IHSG juga ditambah tergelincirnya saham-saham berkapitalisasi kecil yang susut 3,87 persen. Penurunan itu pertama kali terbesar yang dialami saham-saham kapitalisasi kecil. Investor asing juga melakukan aksi jual sekitar US$ 327 juta di pasar saham.
Advertisement
Sementara itu, pasar obligasi juga melemah. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun turun menjadi 6,4 persen. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sempat sentuh 13.628. Investor asing juga melakukan aksi jual mencapai US$ 183 juta di pasar obligasi.
Baca Juga
Vice President Sales and Marketing Distribution, PT Ashmore Assets Management Indonesia, Lydia Toisuta menuturkan, ada sejumlah faktor pengaruhi pasar saham Indonesia. Pertama, lembaga pemeringkat Japan Credit Rating Agency menaikkan peringkat surat utang Indonesia dari BBB- menjadi BBB dengan prospek berubah menjadi stabil.
Ada sejumlah faktor mempengaruhi perubahan peringkat Indonesia tersebut. Pertama, ada peningkatan iklim investasi. Kedua, sektor infrastruktur juga mendapatkan momentum di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Ketiga, utang luar negeri terutama swasta relatif terjaga. "Indonesia juga mampu bertahan terhadap goncangan global," ujar Lydia.
Lydia menambahkan pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga pengaruhi pasar. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sentuh level terendah dalam 20 bulan sehingga membuat Bank Indonesia (BI) intervensi untuk stabilkan pasar. Rupiah sentuh level 13.650 per dolar AS.
Selain itu, Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi 5,2 persen pada kuartal IV 2017 sehingga kontribusi ekonomi Indonesia menjadi 5,1 persen pada 2017. Faktor investor turut kontribusi cukup penting bagi pertumbuhan ekonomi namun konsumsi swasta masih rendah. Selain itu, faktor domestik juga mampu bertahan pada kuartal IV 2017.
Lydia menuturkan, pasar saham Indonesia terkoreksi juga kena imbas dari wall street. Bursa saham AS melemah 10 persen dari level tertinggi di tengah kuatnya kinerja laba perusahaan dan data ekonomi. Sementara itu, imbal hasil surat berharga AS bertenor 10 tahun naik menjadi 2,88 persen.
Melemahnya bursa saham AS atau wall street juga di tengah kekhawatiran pelaku pasar terhadap rencana kenaikan suku bunga bank sentral AS atau the Federal Reserve. Data ekonomi kuat menjadi pertimbangan bank sentral AS menaikkan suku bunga. Data ekonomi AS positif itu ditunjukkan dari data tenaga kerja sektor non pertanian bertambah 200 ribu dari perkiraan 180 ribu. Sedangkan tingkat pengangguran berada di level terendah 4,1 persen.
Selain itu, rata-rata gaji per jam juga naik menjadi 2,9 persen secara year on year (YoY) dari perkiraan 2,6 persen. Imbal hasil surat berharga pun naik menjadi 2,84 persen usai rilis data ekonomi AS.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Selanjutnya
Lalu sentimen apa yang dipertimbangkan ke depan?
Lydia menuturkan, reli saham yang tejadi pada 2016-2017, bursa saham AS berbalik arah tertekan untuk pertama kali. Bursa saham AS melemah 10,3 persen dari posisi puncak pada Januari 2018.
Lalu dengan kondisi itu apakah pasar saham akan turun didorong kejutan dari inflasi dan siklus ekonomi?
Ada sejumlah faktor yang perlu dilihat sebelum pasar saham stabil usai alami tekanan. Salah satunya kebijakan bank sentral AS apakah cenderung memperketat kebijakan moneternya. Salah satu mendorong nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dalam sepekan yaitu inflasi dan kenaikan upah pegawai di AS melebihi perkiraan konsensus. Ini menjadi risiko bagi pasar.
Mengingat melambatnya pendapatan perusahaan dan margin keuntungan akan menurun. Ini berdampak terhadap ekonomi sehingga dapat membuat bank sentral AS menaikkan suku bunga lebih cepat dari perkiraan konsensus menjadi alasan lebih mendasar.
Inflasi meningkat secara mengejutkan ditambah laporan keuangan perusahaan kurang baik dinilai belum terlalu berisiko signifikan.
Hal ini mengingat konsensus memperkirakan pertumbuhan laba per saham di bursa saham AS mencapai 19-23 persen didorong reformasi pajak dan laporan kinerja 2017 terkuat sejak 2011. Sekitar 73 persen laporan keuangan perusahaan mengalahkan harapan pasar. Sentimen itu dapat beri angin segar ke pasar. Diharapkan bank sentral AS dapat beri pernyataan yang sejukkan pasar.
Lydia menambahkan, volatilitas saham juga perlu stabil. Indeks mengukur kecemasan pelaku pasar atau indeks VIX di AS tidak menentu sejak pekan lalu, Indeks VIX sempat di posisi 37,3. "Volatilitas menjadi salah satu indikator. Ada sejumlah strategi dilakukan untuk mengelola dana saat terjadi volatilitas," kata dia.
Lalu bagaimana dengan pasar saham Indonesia? Lydia mengimbau pelaku pasar berhati-hati dalam jangka pendek hingga akhirnya nanti melihat faktor fundamental. Indonesia tidak kebal terhadap penurunan wall stree. Ini ditunjukkan dari IHSG melemah 1,86 persen dan imbal hasil obligasi menjadi 6,4 persen. Namun di luar sentimen, posisi investor asing di Indonesia dapat membuat IHSG lebih tanggu dibandingkan bursa saham Asia lainnya.
Namun posisi investor asing melakukan aksi jual Diharapkan aksi jual besar-besaran oleh investor dapat mereda.
Lydia menuturkan, Ashmore yang melihat investasi dari fundamental sehingga adanya sentimen negatif global sebagai peluang seleksi saham. Pihaknya menambahkan portofolio di saham dan obligasi seiring saham juga relatif kuat pada Desember-Januari 2018. Pihaknya juga mengelola risiko dengan menaikkan posisi dana tunai menjadi 15-20 persen.
"Obligasi secara khusus kami mengharapkan permintaan pelelangan obligasi berikut pada 13 Februari yang menjadi perhatian. Ini mengingat aksi lelang baru-baru ini di surat berharga AS kurang sehingg berdampak terhadap minat investor asing," ujar dia.
Advertisement