Sukses

Wall Street Melonjak Usai Rilis Data Inflasi AS

Investor mengabaikan data inflasi menguat dan saham teknologi seperti Facebook, Apple dan Amazon dorong penguatan wall street.

Liputan6.com, New York - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street melonjak di tengah rilis data inflasi. Investor dinilai mengabaikan data inflasi yang menguat.

Pada penutupan perdagangan saham Rabu (Kamis pagi WIB), indeks saham Dow Jones naik 254,38 poin atau 1,03 persen ke posisi 24.893,83. Indeks saham S&P 500 menguat 35,72 poin atau 1,34 persen ke posisi 2.698,65. Indeks saham Nasdaq bertambah 130,11 poin atau 1,86 persen ke posisi 7.143,62.

Penguatan wall street didorong saham Facebook, Amazon, dan Apple. Saham Facebook melonjak 3 persen. Sedangkan saham Amazon.com dan Apple naik lebih dari satu persen. Kenaikan ketiga saham tersebut membuat indeks saham S&P 500 lebih besar menguat ketimbang indeks saham utama lainnya.

Saham-saham tersebut bersama Netflix dan Alphabet disebut saham FAANG. Saham FAANG tersebut menjadi kontributor utama reli saham pada tahun lalu. Beberapa saham tersebut mampu melewati aksi jual baru-baru ini lebih baik.

"Saham FAANG masih bekerja. Pelaku pasar merasa saham tersebut bertahan selama kemerosotan, dan bisa kembali kepada saham tersebut. Namun masih ada kekhawatiran," ujar Thomas Martin, Manajer Senior Portofolio Globalt Investments seperti dikutip dari laman Reuters, Kamis (15/2/2018).

Penguatan wall street juga di tengah rilis data inflasi. Pemerintah Amerika Serikat mengumumkan indeks harga konsumen kecuali komponen makanan dan energi yang bergejolak naik 0,3 persen pada Januari. Angka ini lebih tinggi dari hasil survei Reuters kepada ekonomi yaitu 0,2 persen. Namun secara year on year (YoY) tetap 1,8 persen.

Data ekonomi tersebut meningkatkan kekhawatiran inflasi. Selain itu menghidupkan kembali kekhawatiran bank sentral AS atau the Federal Reserve untuk agresif menaikkan suku bunga.

Namun, kekhawatiran inflasi juga dipicu dari data yang menunjukkan penjualan ritel AS turun 0,3 persen pada Januari. Angka itu alami penurunan terbesar dalam hampir satu tahun.

"Indeks harga konsumen menunjukkan ada inflasi namun tidak tinggi. Orang menjadi pesimistis," ujar Bruce Bittles, Chief Investment Strategist Robert W.Baird an Co.

Meski demikian, investor percaya ekonomi AS tetap kuat. Pemerintah yang akan berlakukan pemotongan pajak akan memacu pendapatan perusahaan dan mendorong konsumen belanja lebih besar.

Imbal hasil surat berharga AS bertenor 10 tahun mencapai level tertinggi 2,8894 persen. Namun ukuran terhadap kecemasan investor turun dalam jangka pendek. Angka ini berbeda dengan reaksi investor terhadap data lapangan kerja dan upah menguat di AS pada awal Januari 2018.

Indeks volatilitas CBOE turun ke level 20,27. Indeks tersebut turun di bawah 20 untuk pertama kalinya sejak 5 Februari. "Indeks VIX yang tergelincir di bawah 20 adalah pertanda bagus," ujar Bucky Hellwig, Wakil Presiden Direktur BB and T Wealth Management.

10 dari 11 sektor saham S&P 500 menguat dengan sektor saham keuangan dan teknologi informasi naik lebih dari 3,6 persen. Saham Fossil naik 60 persen usai melaporkan kinerja kuartalan yang kuat.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

Wall Street Menghijau Tiga Hari Berturut-Turut

Sebelumnya, Wall Street membukukan kenaikan dalam tiga hari beruntun pada penutupan perdagangan Selasa (Rabu pagi waktu Jakarta). Indeks utama pulih dari koreksi tajam yang dibukukan pada pekan sebelumnya.

Mengutip CNBC, Rabu 14 Februari 2018, Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup naik 39,25 poin ke level 24.640,45 setelah sebelumnya jatuh 180,24 poin.

Goldman Sachs dan 3M menjadi kontributor terbesar kenaikan Dow Jones. Keduanya naik 0,9 persen. Pada hari Kamis lalu, indeks Dow Jones, S&P 500 dan Nasdaq ditutup setidaknya 10 persen di bawah rekor tertinggi bulan lalu.

CEO Chaikin Analytics, Marc Chaikin, menjelaskan bahwa pasar saham memang telah kelebihan beli di awal tahun sehingga harus terkoreksi dalam. Saat ini, pasar saham telah mencari keseimbangan baru.

Di awal tahun atau pada Januari lalu, Wall Street terus mencetak rekor tertinggi. Karena jenuh aksi beli maka kemudian pasar saham Amerika Serikat (AS) mengalami kejatuhan pada pekan lalu.

"Jadi kita memang mengalami overbought pada 26 Januari, ketika mencapai titik tertinggi sepanjang masa kemudian pasti akan disusul dimana pasar pada titik ketakutan," jelas dia.