Sukses

Kekhawatiran Perang Dagang Mereda, Laju IHSG Perkasa

Kenaikan peringkat utang Indonesia oleh Moody's belum mampu mengangkat laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat selama sepekan. Hal ini didorong kenaikan saham masuk LQ45 dan berkapitalisasi kecil.

IHSG ditutup melemah 40,47 poin atau 0,64 persen ke posisi 6.270 pada Jumat 13 April 2018. Akan tetapi, IHSG menguat selama sepekan periode 6 April hingga 13 April 2018.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (14/4/2018), IHSG naik 1,5 persen selama sepekan yang didorong saham kapitalisasi besar masuk LQ45. Saham kapitalisasi besar itu naik 1,49 persen. Tak hanya itu, saham kapitalisasi kecil juga reli terutama saham bergerak di komoditas.

Namun, investor asing masih jual saham selama sepekan. Tercatat aksi jual investor asing mencapai USD 115 juta atau sekitar Rp 1,58 triliun (asumsi kurs Rp 13.757 per dolar Amerika Serikat).

Sementara itu, indeks BINDO yang menunjukkan pasar surat utang atau obligasi naik 0,15 persen selama sepekan. Imbal hasil surat utang pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun turun 10 basis poin ke posisi 6,5 persen. Investor asing masih catatkan aksi beli di pasar obligasi. Aksi beli investor asing capai USD 16 juta atau sekitar Rp 220,16 miliar.

Dalam laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, ada sejumlah sentimen pengaruhi pasar keuangan. Dari eksternal, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tampaknya ingin mengubah keputusannya soal Trans-Pacific Partnership (TPP).

Pada pertemuan anggota parlemen dan gubernur negara bagian, Trump menuturkan sedang mencari cara kembali bergabung dalam perjanjian TPP. Sebelumnya, ia sempat tak mau gabung ke TPP. Peninjauan kembali rencana itu terjadi ketika Trump mengancam untuk mengenakan tarif baru untuk impor barang dari negara lain.

Selain itu, rilis dari data ekonomi AS juga menjadi sorotan. Harga konsumen di AS naik 2,4 persen menjadi 2,4 persen pada Maret 2018. Angka itu lebih tinggi dari posisi Februari 2018 sebesar 2,2 persen. Ini sesuai harapan pasar.

Perdagangan saham global pun sempat menguat pada pekan ini. Hal itu didorong sentimen kekhawatiran perang dagang mereda. Presiden China Xi Jingpin berjanji menurunkan tarif impor produk. Ia sampaikan hal itu di forum Boao.

Jingpin juga mengatakan, China akan mengambil langkah-langkah untuk memperluas akses pasar bagi investor asing. Selain itu, meningkatkan batas kepemilikan investor asing di sektor otomotif dan melindungi kekayaan perusahaan intelektual perusahaan asing.

Investor pun merespons positif hal tersebut. Mengingat pada sepekan terakhir, pasar diliputi kekhawatiran perang dagang akibat penerapan tarif impor produk baik dari AS dan China. Bahkan Trump pun apresiasi langkah China tersebut.

Akan tetapi penguatan bursa saham hanya sementara. Pasar keuangan kembali diliputi kekhawatiran geopolitik di Suriah. Pemerintahan Assad dituduh menggunakan senjata kimia pada warga sipil di Ghouta Timur, daerah yang dikuasai pemberontak di luar Damaskus.

Ini telah mendorong respons dari AS dan sekutunya. Bahkan menimbulkan ketakutan akan perang antara Rusia yang mendukung pemerintahan Assad dengan AS beserta sekutunya.

Dari internal, Ashmore Asset Management juga menyoroti calon presiden pada pemilihan presiden 2019.  Kemudian pada akhir pekan ini, Indonesia mendapatkan kabar gembira dari lembaga pemeringkat internasional Moody’s.

Lembaga pemeringkat internasional tersebut menaikkan peringkat utang Indonesia usai Fitch Rating dongkrak peringkat Indonesia. Peringkat utang Indonesia naik menjadi Baa2 dengan prospek stabil. Kenaikan peringkat tersebut mendorong Indonesia sejajar dengan India dan Filipina.

 

2 dari 2 halaman

Faktor yang Dicermati ke Depan

Lalu hal apa yang dicermati ke depan?

Lembaga pemeringkat internasional Moody’s menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi Baa2 dengan prospek stabil. Namun, Moody’s melihat pendapatan negara masih lemah dan kewajiban perusahaan milik negara sebagai risiko utama.

Moody’s mengharapkan utang pemerintah akan tetap pada tingkat 30 persen dari produk domestik bruto (PDB). Hal tersebut juga akan menjadi pertimbangan bagi lembaga pemeringkat internasional lainnya termasuk S&P.

Lembaga pemeringkat internasional S&P akan mengadakan pertemuan pada pertengahan tahun untuk memutuskan prospek Indonesia.  Pada beberapa bulan lalu, S&P menyatakan akan tetap pertahankan peringkat utang Indonesia.

Akan tetapi, Ashmore melihat defisit neraca berjalan menjadi kendala euforia kenaikan peringkat utang Indonesia. Diperkirakan sulit mencapai dua persen. “Dengan harga minyak lebih tinggi dan musim dividen pada kuartal II, current account defisit akan menjadi indikator risiko utama kami untuk rupiah dan obligasi,” tulis Ashomore.

Moody’s juga melihat sejumlah risiko yang dapat ganggu peringkat utang Indonesia. Pertama, keputusan pemerintah tetap mempertahankan harga bahan bakar minyak (BBM). Kedua, stagnasi pertumbuhan pendapatan karena kurangnya efektivitas kebijakan. Hingga Februari 2018, Indonesia masih mencatatkan penerimaan pajak 19 persen. Ketiga, neraca keuangan BUMN dapat meningkatkan kewajiban pemerintah. Ini terutama terjadi jika proyek infrastruktur gagal dan tertunda.

Ashmore melihat meski ada sentimen positif dari Moody’s namun belum direspons positif pelaku pasar. Pelaku pasar cenderung aksi ambil untung. Ini ditunjukkan dari IHSG melemah 0,6 persen. Imbal hasil obligasi naik tipis menjadi 6,5 persen. Selain itu, rupiah mendatar di posisi 13.755 per dolar Amerika Serikat.

"Kami melihat di pasar saham akan dipengaruhi musim laporan keuangan kuartal I 2018.  Kemungkinan kenaikan peringkat dapat meredakan sentiment negatif aset berisiko di Indonesia,” tulis Ashmore.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: