Sukses

IHSG Menguat Terbatas Selama Sepekan

IHSG menguat 0,43 persen dari posisi 5.731 pada 5 Oktober 2018 ke posisi 5.756 pada 12 Oktober 2018.

Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat tipis selama sepekan ini. Hal itu ditopang aksi beli investor domestik dan rupiah stabil.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (13/10/2018) IHSG menguat 0,43 persen dari posisi 5.731 pada 5 Oktober 2018 ke posisi 5.756 pada 12 Oktober 2018. Penguatan IHSG didorong aksi beli investor domestik dan nilai tukar rupiah yang stabil terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Selain itu, saham kapitalisasi besar masuk indeks saham LQ45 menguat 0,54 persen selama sepekan. Hal itu didorong saham konsumsi dan semen. Investor asing jual saham USD 273 juta atau sekitar Rp 4,15 triliun (asumsi kurs Rp 15.204 per dolar AS).

Di pasar obligasi atau surat utang, indeks obligasi turun 1,3 persen. Hal itu seiring harapan inflasi akan tinggi yang didorong kenaikan harga minyal. Imbal hasil obligasi pemerintah ke posisi 8,75 persen. Sementara itu, rupiah alami depresi ke posisi 15.197 per dolar AS dari sebelumnya di posisi 15.183.

Investor asing masuk ke obligasi dengan beli obligasi capai USD 16,4 juta atau sekitar Rp 249,34 miliar hingga perdagangan Kamis pekan ini.

Ada sejumlah sentimen pengaruhi pergerakan pasar keuangan selama sepekan, antara lain:

Pertama, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk pertama kali. Ini seiring ada perang dagang dan tekanan di negara berkembang.

IMF memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,7 persen pada 2018. Angka ini turun dari proyeksi tiga bulan lalu sekitar 3,9 persen. Proyeksi ini turun untuk pertama kali sejak Juli 2016.

Selain itu, IMF juga memangkas pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) menjadi 2,5 persen pada 2019. Hal itu didorong sentimen penerapan tarif impor yang dilakukan AS. Selain itu, IMF juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China jadi 6,2 persen pada 2019.

Lemahnya permintaan pada lelang surat berharga AS atau treasury US juga pengaruhi pasar. Imbal hasil obligasi naik usai investor menurunkan permintaan sekitar USD 60 miliar untuk penerbitan surat berharga. Surat berharga atau obligasi tersebut bertenor 3 tahun dan 10 tahun. Penjualan surat berharga bertenor 10 tahun tersebut membutuhkan perjuangan untuk menarik minat investor.

Analis menilai, meningkatnya data ekonomi yang ditunjukkan dari inflasi dan banjirnya penerbitan surat utang mendorong kenaikan suku bunga. Imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun naik sekitar 17 basis poin selama sepekan usai rilis tingkat pengangguran AS terendah dalam 49 tahun.

Harga minyak bergejolak pun jadi sorotan. Harga minyak merosot ke posisi terendah dalam dua minggu pada Kamis pekan ini seiring bursa saham global yang turun. Ini didorong sentimen investor cermati persediaan minyak AS yang diperkirakan lebih besar dari perkiraan.

Persediaan minyak mentah naik 6 juta barel dalam sepekan hingga 5 Oktober. Stok naik selama tiga minggu berturut-turut seiring kilang terus menurunkan produksi untuk pemeliharaan. Minyak mentah turun 352 ribu barel per hari karena tingkat pemanfaatan turun 1,6 persen.

 

 

* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.

 

2 dari 3 halaman

China Pompa Likuiditas

Dari Asia, Bank Sentral China memompa likuiditas ke pasar.Hal tersebut dilakukan untuk menopang ekonomi domestik yang goyah di tengah perang dagang.

Bank sentral China menurunkan rasio cadangan yang diperlukan untuk pemberi pinjaman sebesar satu persen yang efektif mulai 15 Oktober 2018.

Selain itu, Staf Kementerian Keuangan AS menyarankan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin kalau China tidak memanipulasi yuan. Ini karena pemerintahan AS di bawah pimpinan Donald Trump mempersiapkan laporan terkait mata uang asing. Hal itu berdasarkan sumber.

Jika laporan dan saran diterima Mnuchin, akan mencegah eskalasi perang dagang AS-China. Selain itu juga menghilangkan kekhawatiran untuk pasar negara berkembang.

Mnuchin bisa keluarkan temuan berbeda. Presiden AS Donald Trum secara terbuka dan menekan Mnuchin untuk menyatakan China sebagai manipulator mata uang. Namun, staf Kementerian Keuangan AS belum temukan alasan untuk melakukannya.

Menuduh China memanipulasi mata uangnya tidak akan memicu sanksi. Akan tetapi, hal tersebut dapat meningkatkan ketegangan dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia.

Dari internal, pemerintah Indonesia menunda kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Premium. Hal itu karena membutuhkan kesiapan Pertamina.

Kementerian ESDM juga keluarkan aturan baru yang menyatakan hasil ekspor mineral dan bijih harus disimpan di bank-bank Indonesia. Ini positif untuk likuditas dolar AS.

 

 

3 dari 3 halaman

Hal yang Dicermati ke Depan

Lalu apa yang dicermati saat ini?

Selama dua hari terakhir, bursa saham AS atau wall street koreksi lima persen. Hal itu didorong empat hal antara lain valuasi sektor saham teknologi dan masalah dengan China. Kemudian lelang surat berharga AS yang kuat, meningkatnya perang dagang dan harga minyak.

Sementara, sebagian besar alasan kinerja wall street yang kuat berasal dari pertumbuhan pendapatan yang solid, 65 persen pendorong penerimaan AS dari pajak, pembelian kembali dan harga minyak.

"Ini sangat tidak mungkin untuk diulang pada 2019. Kami bahkan tidak hitung efek perang dagang terhadap ekonomi dan pendapatan AS tahun depan,” tulis Ashmore.

Ashmore melihat meski AS melaporkan data ketenagakerjaan yang solid setiap bulan, tetapi negara bagian antara lain Indiana, Arkansas, Ohio, dan Iowa yang merupakan pendorong utama sektor manufaktur di AS sudah berkurang pekerjanya. Harga baja AS pun lebih tinggi 20 persen dari China. Oleh karena itu, perusahaan AS membayar lebih besar untuk bahan baku.

Ashmore melihat masalah utamanya adalah korelasi kuat antara bursa saham AS dan negara berkembang selama 20 tahun ini. Pandangan Ashmore kali ini berbeda mengenai dampak kinerja wall street terhadap negara berkembang.

Tiga faktor terhadap pandangan itu antara lain kesenjangan nilai saham AS dan negara berkembang. Bursa saham negara berkembang sudah mengantisipasi nilai tukar rupiah tertekan, suku bunga lebih tinggi dan pertumbuhan China lebih lambat.

Kedua, hasil obligasi negara berkembang kini sudah mencapai 6,6 persen sama ketika pada 2006. Saat itu juga suku bunga the Federal Reserve sekitar 5,25 persen. “Ini berarti imbal hasil obligasi negara berkembang telah hampir menyesuaikan siklus kenaikan suku bunga the Fed,” tulis Ashmore.

Ketiga, selama taper tantrum pada 2013-2015, negara berkembang alami aliran modal keluar sebesar USD 90 miliar. Kemudian hanya sekitar USD 15 miliar yang kembali masuk ke negara berkembang dalam dua tahun.

Meski demikian, negara berkembang memiliki katalis kinerja perusahaan yang tumbuh dalam dua tahun ke depan. Ini sebagian besar negara berkembang kurangi ketergantungannya terhadap dolar AS.

Saat ini, IHSG diperdagangkan di kisaran 14,4 kali pada 2018 dan 12,8 kali pada 2019. Pendapatan emiten sudah turun empat persen menjadi sembilan persen pada 2018. Namun, harga saham sudah merosot 10,3 persen year to date (Ytd).

Ashmore melihat pertumbuhan pendapatan kuartal III 2018 sekitar 10-11 persen (YoY) yang didorong sektor komoditas, otomotif dan ritel.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: