Liputan6.com, Jakarta - Indonesia hadapi tahun politik dengan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) 2019. Meski memasuki tahun politik, kondisi pasar keuangan Indonesia berpotensi tumbuh.
Chief Economist and Invesment Strategies PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Katarina Setiawan menyebutkan, pemilu tidak akan berdampak negatif terhadap pasar keuangan Indonesia.
Dia juga menjelaskan, iklim politik sudah di Indonesia sudah terasa sejak dua tahun lalu dan terbukti tidak menimbulkan hal yang tidak diinginkan terhadap kondisi pasar keuangan.
Advertisement
"Tnjauan pasar 2019 yang katanya tahun politik memang tahun politik tapi sebetulnya tahun politik sudah dimulai 2 tahun lalu sejak tahun 2017," kata dia dalam sebuah acara diskusi di kantornya, Jakarta, Kamis (13/12/2018).
Baca Juga
Untuk lebih meyakinkan, dia membandingkan kondisi pasar keuangan Indonesia saat pemilu terjadi beberapa tahun ke belakang.
Pada pemilu 2004, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau naik 45 persen sebagai dampak dari adanya pesta demokrasi tersebut.
"Kita melihat bahwa kita bandingkan dengan pemilu - pemilu yang lalu apa yang terjadi dengan pasar saham. Tahun 2004 itu IHSG naik 45 persen," ujar dia.
Kemudian pemilu selanjutnya pada 2009 masih memberikan dampak positif terhadap pasar keuangan. Ditandai dengan naiknya IHSG sebesar 87 persen. "Kemudian di 2009 naik 87 persen, ada euforia pemilu," ujar dia.
Selanjutnya pemilu 2014 silam, pasar keuangan juga menuai dampak positif dengan naiknya IHSG sebesar 22 persen. "Tahun 2014 naik juga 22 persen. Jadi di 3 siklus pemilu yang lalu secara konsisten IHSG itu naik tiap kali pemilu," dia menambahkan.
Sementara itu, posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) saat pemilu juga terpantau stabil meski melemah di tiga siklus pemilu tersebut.
Pada 2004, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah 10 persen. Kemudian pada pemilu berikutnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat 10 persen pada 2009. Lalu pada pemilu 2014 posisi nilai tukar kembali melemah 2 persen.
"(Prediksi rupiah di 2019) rangenya antara melemah 10 persen sampai menguat 15 persen. jadi sebetulnya kalau kita melihat siklus - siklus pemilu yang lalu dan diskusi dengan berbagai pengamat politik kemudian lembaga survei dan tokoh - tokoh politik, itu sebetulnya dengan pemilu yang akan datang pemilu itu akan berjalan aman dan juga masyarakat itu sebetulnya tidak perlu terlalu khawatir," ujar dia.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Prediksi Kondisi Keuangan pada 2019
Sebelumnya, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai kondisi dan kinerja pasar keuangan di Indonesia mulai menunjukkan arah positif di penghujung tahun ini. Setelah sebelumnya sempat bergejolak akibat dari kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian.
Chief Economist and Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Katarian Setiawan menyebutkan beberapa kondisi yang saat ini mempengaruhi sentimen terhadap pasar keuangan diantaranya kekhawatiran pertumbuhan global, kenaikan suku bunga Amerika Serikat (The Fed) yang sangat agresif, dan perang dagang antara Amerika Serikat dengan mitra dagangnya.
Dia menjelaskan semua hal tersebut membuat pasar bergejolak dan bergerak negatif pada tahun berjalan 2018.
“Di penghujung tahun, kondisi pasar mulai kondusif. Terlihat dari kinerja pasar saham dan obligasi yang yang tumbuh masing-masing 3,85 persen (MoM) dan 4,17 persen (MoM),” kata dia dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Kamis 13 Desember 2018.
Dia menilai perbaikan kondisi di akhir tahun tersebut merupakan sinyal positif untuk tahun depan. Selain itu menyoroti nilai tukar Rupiah yang menguat 5,93 persen per November 2018 setelah sebelumnya terdepresiasi atau melemah terhadap Dolar AS.
Hal tersebut tentunya akan semakin menambah nilai positif pada pasar keuangan Indonesia. Dengan demikian, kondisi pasar keuangan di tahun depan akan lebih baik. “Pasar finansial pun bersiap menatap arah yang lebih positif di tahun 2019,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, pihaknya memprediksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di tahun depan berkisar antara 6.900 hingga 7.100. Sementara nilai tukar Rupiah antara 14.500 sampai 15.200.
Setidaknya ada tiga pembahasan utama yang akan mewarnai perjalanan pasar finansial global di tahun 2019, yaitu pertumbuhan ekonomi dunia yang masih positif meski cenderung mengalami moderasi, suku bunga global yang akomodatif, dan perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dan mitra-mitranya.
“Berbeda dengan awal tahun 2018, di tahun 2019 pasar sudah memperhitungkan dampak perang dagang dan pengetatan moneter bagi pertumbuhan ekonomi dunia. Harga-harga saham sudah terkoreksi di tahun ini. Sementara, pertumbuhan laba korporasi tahun 2019 yang diperkirakan masih positif,” dia menandaskan.
Sementara dari sisi suku bunga global, lanjut Katarina, kenaikan suku bunga The Fed diperkirakan tidak akan seagresif tahun 2018. Hal ini lantaran Amerika Serikat harus menghadapi meredanya dampak positif dari pemotongan pajak terhadap pertumbuhan ekonominya, sementara kenaikan suku bunga agresif selama dua tahun berturut-turut akan mulai menggerus laju pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
“Karena kenaikan suku bunga The Fed yang tidak terlalu agresif, otomatis tekanan kenaikan suku bunga di negara-negara berkembang akan mereda,” tutur dia.
Advertisement
Peluang Investasi
Director and Chief Investment Officer, Fixed Income MAMI, Ezra Nazula mengungkapkan adanya adanya peluang investasi di reksa dana pendapatan tetap di 2019.
Di mana, kondisi pasar global sedikit banyak akan mempengaruhi kondisi domestik Indonesia, terutama dari iklim bunga dan mata uang. Sinyal moderasi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan The Fed yang tidak terlalu agresif, akan membuat tekanan nilai tukar Rupiah mereda, sehingga kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia diperkirakan sudah mendekati puncak atau tahap akhir.
“Tekanan terhadap pasar obligasi di tahun 2019 sudah jauh berkurang. Fundamental ekonomi relatif lebih terjaga. Langkah preventif pemerintah dan Bank Indonesia untuk memperbaiki postur fiskal, defisit neraca berjalan dan volatilitas nilai tukar rupiah mendapat respon positif dari investor. Hal ini terlihat dari akumulasi pembelian asing atas obligasi pemerintah Indonesia sebesar Rp 50 triliun yang terjadi di kuartal keempat tahun 2018 per akhir bulan November,” ujarnya.
Dia memperkirakan, stabilitas rupiah dan berkurangnya agresivitas pengetatan moneter, baik dari The Fed maupun Bank Indonesia pada akhirnya akan mampu menopang pasar obligasi di tahun 2019. Melihat beragam faktor positif dari domestik, tingkat inflasi Indonesia di tahun 2019 diperkirakan akan tetap stabil di kisaran 3,7 persen - 4,2 persen.
“Dengan tingkat inflasi di level tersebut, beserta imbal hasil US Treasury 10-tahun yang terjaga di level 3 persen - 3,5 persen, kami memperkirakan tingkat imbal hasil obligasi Indonesia untuk tenor 10 tahun dapat turun mencapai level 7 persen - 7,5 persen,” tutur Ezra.
Saksikan video pilihan di bawah ini: