Sukses

IHSG Diprediksi Melemah, Simak Saham Pilihan Ini

Secara teknikal, kemungkinan IHSG akan melaju ke zona merah.

Liputan6.com, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan melemah pada perdagangan saham Jumat (5/4/2019).

Head of Research PT Reliance Sekuritas Indonesia Lanjar Nafi memprediksi, IHSG masih akan bergerak tertahan dengan support dan resistance 6410-6520.

Dia menjelaskan, kemungkinan IHSG untuk melaju ke zona merah itu terlihat secara teknikal.

"Indikasi terkoreksi masih cenderung membayangi melihat trend line jangka menengah yang membentuk pola bearish trend," ujarnya di Jakarta.

Berbeda, Analis PT Artha Sekuritas Dennies Christoper mengungkapkan, IHSG akan menguat. Namun, penguatan itu pun masih akan bersifat terbatas.

"Indikator stochastic bergerak mendekati area overbought menandakan rentang penguatan akan terbatas di kisaran 6.481-6.506," ucap dia.

Adapun saham rekomendasi menurut Dennies ialah saham PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), dan PT Astra International Tbk (ASII).

Sedangkan Lanjar menganjurkan saham PT JAPFA Tbk (JPFA), PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK), serta PT Malindo Feedmil Tbk (MAIN).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Kinerja IHSG Tumbuh 4 Persen pada Kuartal I 2019

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung konsolidasi pada kuartal I 2019. Hal itu seiring pelaku pasar wait and see kondisi dalam negeri dan luar negeri pada Maret 2019.

Mengutip data Bloomberg, Kamis (4/4/2019), IHSG naik 4,4 persen dari posisi 6.194,50 pada 28 Desember 2018 menjadi 6.468,76 pada 29 Maret 2019.

Pada awal 2019, laju IHSG cenderung menguat. Dari posisi 6.194 pada 28 Desember 2018 ke posisi 6.532 pada 31 Januari 2019.

Analis PT Binaartha Sekuritas, Nafan Aji menuturkan, IHSG cenderung menguat pada Januari 2019 didorong January Effect. Saat itu juga sentimen perang dagang China-Amerika Serikat (AS) juga mulai mereda. 

Dari eksternal, pernyataan bank sentral AS atau the Federal Reserve yang cenderung dovish dengan bersabar untuk menaikkan suku bunga pada 2019.

"Januari ada January Effect membuat IHSG menguat," ujar Nafan saat dihubungi Liputan6.com.

Akan tetapi, menurut Nafan, memasuki Februari hingga Maret 2019, IHSG cenderung konsolidasi. Hal ini karena pasar masih wait and see sentimen global dan internal. Dari global, pelaku pasar khawatir dengan pertumbuhan ekonomi global.

IHSG cenderung konsolidasi ini juga ditunjukkan dari posisi IHSG di 6.547,87 pada 6 Februari 2019 kemudian cenderung turun ke posisi 6.366 pada 11 Maret 2019. Laju IHSG pun beranjak naik sejak 12 Maret 2019. Hingga akhirnya berada di posisi 6.468,76 pada 29 Maret 2019.

"IHSG sideways memasuki Februari hingga kini. Pelaku pasar wait and see terkait dinamika politik dalam negeri dengan aka nada pesta demokrasi. Sedangkan sentimen global agak positif dari dovish the Federal Reserve. Pelaku pasar juga khawatir resesi," ujar Nafan.

Hingga perdagangan 1 April 2019, sektor saham infrastruktur, utilitas, dan transportasi mencatatkan performa tertinggi dengan naik 9,08 persen. Kemudian sektor saham keuangan menguat 7,56 persen dan sektor saham properti, real estate, dan konstruksi tumbuh 5,55 persen. Hal itu seperti dikutip dari data BEI.

Nafan perkirakan, IHSG sentuh posisi 6.675 dalam jangka pendek. Memasuki awal kuartal II 2019, Nafan menilai pelaku pasar masih wait and see terutama menyambut penyelenggaran pemilihan umum (pemilu) 2019. Akan tetapi, IHSG berpotensi menguat kalau dilihat secara historical.

"Rata-rata IHSG tumbuh 55,98 persen dari pelaksanaan pemilu 1999,2004,2009, dan 2014. Secara historical cenderung menguat. Pelaku pasar akan mulai berani masuk usai pemilu menunjukkan hasil positif,” ujar dia.

Adapun sentimen lainnya yang akan pengaruhi yaitu lembaga pemeringkat internasional Fitch Rating yang menyebutkan prospek Indonesia masih stabil juga jadi katalis positif dan kategori investment grade.

Selain itu, stabilitas fundamental ekonomi Indonesia yang terjaga, meredanya sentimen perang dagang antara AS-China, dan berakhirnya rezim suku bunga tinggi bagi bank sentral dunia akan topang IHSG ke depan.

"Namun ketidakpastian Brexit, geopolitik, negosiasi perdagangan AS-China dan ancaman defisit neraca dagang akibat tergantung impor juga jadi hambatan," kata dia.