Liputan6.com, Jakarta - PT Adaro Energy Tbk (ADRO), salah satu perusahaan batu bara di Indonesia dikabarkan telah mengalihkan keuntungan dari batu bara yang ditambang di Indonesia. Hal ini untuk menghindari pajak di Indonesia.
Hal tersebut berdasarkan laporan Global Witness berjudul Taxing Times for Adaro yang dirilis pada Kamis 4 Juli 2019.
Dari laporan itu disebutkan kalau dari 2009-2017, perseroan melalui anak usahanya di Singapura, Coaltrade Services International membayar USD 125 juta atau lebih sedikit dari yang seharusnya dilakukan di Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
Dengan mengalihkan lebih banyak dana melalui tempat bebas pajak, Adaro mungkin telah mengurangi tagihan pajak Indonesia dan uang yang tersedia untuk pemerintah Indonesia untuk layanan-layanan publik penting hampir USD 14 juta per tahun.
"Operasi lepas pantai Adaro yang luas tampaknya sangat kontras dengan citra publik mereka yang dibangun dengan hati-hati dalam memberikan kontribusi ke Indonesia. Pada saat yang sama dengan perusahaan sudah mendapatkan keuntungan dari jaminan pemerintah untuk pembangkit listrik besar, itu menumbuhkan jaringan lepas pantai yang kompleks dan memindahkan sejumlah besar uang ke luar negeri," ujar Climate Change Campaign Manager Global Witness, Stuart McWilliam, seperti dikutip dari laporan tersebut, Jumat (5/7/2019).
“Investigasi kami sebelumnya telah menunjukkan kalau kegiatan tax haven dari perusahaan batu bara Indonesia dapat menambah risiko keuangan terhadap dampak lingkungan yang berbahaya. Sekarang jelas industri batu bara Indonesia menjadi risiko reputasi,” tambah dia.
Laporan keuangan menunjukkan, nilai total komisi penjualan yang diterima Coaltrade dengan pajak rendah di Singapura meningkat rata-rata secara tahunan dari USD 4 juta sebelum 2009 menjadi USD 55 juta dari 2009-2017. Lebih dari 70 persen batu bara yang dijualnya berasal dari anak perusahaan Adaro Energy di Indonesia.
Peningkatan pembayaran mendorong keuntungan di Singapura, dengan pengenaan rata-rata pajak tahunan 10 persen.
Sedangkan keuntungan dari komisi perdagangan batu bara perseroan di Indonesia mungkin akan dikenakan pajak di Indonesia dengan tingkat lebih tinggi secara rata-rata tahunan sekitar 50 persen. Global Witness pun meminta Adaro untuk berkomentar mengenai hal itu tetapi belum menerima jawaban.
Laporan itu juga menyebutkan, pada 2008, Adaro membayar USD 33 juta untuk menyelesaikan perselisihan dengan otoritas pajak Indonesia atas aturan sebelumnya dengan Coaltrade.
Sebagian besar dari keuntungan yang terdaftar di Singapura tampaknya telah dipindahkan ke luar negeri, ke salah satu anak perusahaan Adaro di Mauritius, yang tidak dikenakan pajak sama sekali sebelum 2017 dan mungkin masih belum.
Laporan tersebut juga menemukan Adaro baru-baru ini akuisisi anak perusahaan di Labuan, Malaysia yang merupakan surge pajak. Hal ini untuk membeli saham tambang batu bara di Australia.
Pada saat yang sama, Adaro Energy juga telah memperluas jaringan offshore, dan akan diuntungkan oleh jaminan keuangan pemerintah Indonesia untuk pembangkit listrik tenaga batu bara Batang senilai USD 4 miliar, seperti disebutkan dalam laporan tersebut.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
China Batasi Impor Batu Bara Tak Ganggu Kinerja Adaro
Sebelumnya, Presiden Direktur PT Adaro Indonesia, Garibaldi Thohir, mengatakan kebijakan proteksi impor batu bara oleh Tiongkok tidak membuat kinerja perusahaan menurun. Sebab, ekspor batu bara Adaro ke Tiongkok hanya berkisar 10 persen.
"Untuk Adaro kita memang tidak terlalu berdampak karena kebetulan Adaro sudah dari jauh jauh hari mendiversifikasikan market kita. Jadi ke Tiongkok penjualan kita itu less than 10 persen, jadi engga terlalu impact," ujar dia di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Rabu, 3 Oktober 2018.
Garibaldi mengatakan, sejauh ini ada 17 negara tujuan ekspor batu bara. Meski demikian, permintaan dalam negeri juga masih cukup tinggi yaitu berkisar 30 persen.
"Kemana-mana ke 17 negara. Paling besar ke domestik, mungkin sekitar hampir 30 persen ke domestik," ujar dia.
Garibaldi melanjutkan, dalam menjalankan roda penjualan, perusahaannya tidak selalu bergantung pada satu pasar tertentu. Hal ini untuk menghindari resiko apabila terjadi perubahan kebijakan di negara tujuan ekspor.
"Kalau dari dulu kita selalu ini ya, istilah saya kita enggak mau tergantung terhadap satu market tertentu. Yang besar itu Malaysia, Hongkong, Korea, Jepang, China, India, bahkan ada yang sebagian ke Amerika. Negara-negara Asean Filipina, Vietnam," kata dia.
Garibaldi optimistis kinerja perusahaan tetap positif hingga akhir tahun. Meski demikian, pihaknya tetap mewaspadai beberapa risiko seperti fluktuasi harga batu bara yang tidak dapat diprediksi.
"Harga saya sudah bilang enggak bisa di predict memang ada penurunan. Cuman tadi blanded kita, karena strategi kita tidak hanya tergantung pada pasar, jadi risk-nya juga ke spread, sehingga kita bisa memanage harga jual yang tiba-tiba drop. Ya kita ada yang longterm jadi overall masih sesuai dengan guidance kita," kata dia.
Advertisement
Kinerja Kuartal III 2018
Sebelumnya, PT Adaro Energy Tbk (ADRO), produsen batu baru mencatatkan pertumbuhan pendapatan sepanjang sembilan bulan pertama 2018. Namun, laba periode berjalan merosot.
Mengutip laporan keuangan yang disampaikan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), seperti ditulis Senin (5/11/2018), perseroan membukukan laba periode berjalan turun 14,98 persen menjadi USD 351,77 juta selama sembilan bulan pertama 2018 dari periode sama tahun sebelumnya untung USD 413,75 juta.
Meski demikian, pendapatan naik tipis 9,34 persen dari USD 2,43 miliar hingga akhir kuartal III 2017 menjadi USD 2,66 miliar hingga akhir kuartal III 2018.
Pertumbuhan pendapatan itu didorong harga jual rata-rata yang tinggi naik sembilan persen dari periode sama tahun sebelumnya.
Sepanjang sembilan bulan pertama 2018, total produksi batu bara mencapai 38,98 juta metrik ton (MT) atau turun satu persen dari periode sama tahun lalu. Perseroan menargetkan produksi batu bara 2018 sebesar 54-56 MT.
Beban pokok pendapatan naik 13,22 persen sepanjang sembilan bulan pertama 2018. Beban pokok pendapatan menjadi USD 1,78 juta yang terutama disebabkan oleh kenaikan biaya penambangan akibat kenaikan volume pengupasan lapisan penutup yang juga dorong kenaikan nisbah kupas.
Selain itu, kenaikan harga bahan bakar minyak, dan kenaikan pembayaran royalti kepada pemerintah Indonesia akibat kenaikan harga jual rata-rata.
Adaro membayarkan royalti kepada pemerintah Indonesia naik sembilan persen menjadi USD 277 juta akibar kenaikan pendapatan usaha dari penjualan batu bara. Beban operasional naik delapan persen hingga sembilan bulan pertama 2018 menjadi USD 138 juta. Ini terutama didorong kenaikan komisi penjualan dan biaya karyawan.
Total liabilitas perseroan naik menjadi USD 2,84 miliar pada 30 September 2018. Kenaikan liabilitas sekitar dua persen dipengaruhi kewajiban lancar naik 14 persen menjadi USD 930 juta yang diakibatkan kenaikan pinjaman bank jatuh tempo dan utang usaha.
Kewajiban nonlancar turun tiga persen menjadi USD 1,91 miliar terutama karena penurunan pinjaman jangka panjang.
Ekuitas perseroan naik menjadi USD 4,30 miliar pada 30 September 2018 dari periode 31 Desember 2017 sebesar USD 4,09 miliar.
Belanja modal PT Adaro Energy Tbk mencapai USD 339 juta selama sembilan bulan pertama 2018. Ini digunakan untuk pembelian dan penggantian alat berat, pengembangan aset batu bara metalurgi, dan pemeliharaan rutin di sepanjang rantai pasokan batu bara.