Sukses

Ashmore Asset Management Ungkap Pandemi Covid-19 Ubah Komposisi Aset Kelolaan

Sejak 2005 hingga akhir 2019, rata-rata pertumbuhan dana kelolaan Ashmore Asset Management mencapai 21 persen setiap tahunnya.

Liputan6.com, Jakarta - PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AAMI) memandang industri aset manajemen Indonesia merupakan salah satu sektor yang saat ini membukukan pertumbuhan jangka panjang yang baik.

Direktur Ashmore Asset Management Indonesia Arief Cahyadi Wana mengatakan, Sejak 2005 hingga akhir 2019, rata-rata pertumbuhan dana kelolaan perseroan mencapai 21 persen setiap tahunnya.

"Pertumbuhan yang di atas pertumbuhan ekonomi nasional tersebut kami percaya disebabkan oleh masih rendahnya penetrasi investasi di kalangan umum Indonesia, dan masih bertumbuhnya tingkat literasi investasi," ujarnya pasca Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST), Rabu (7/10/2020).

Namun demikian, Arief menambahkan, dengan adanya gejolak pandemi Covid-19 pada 2020 ini, pertumbuhan dana kelolaan mengalami disrupsi dan menurun hingga 11 persen pada 2019.

"Dana kelola reksadana terkena imbas pandemi Covid-19, terutama di awal 2020, dari posisi Rp 514 triliun pada Juni 2019 menjadi Rp 482 triliun pada Juni 2020. Ini karena tingginya kekhawatiran investor pada awal tahun dengan ketidakpastian yang terjadi," jelasnya.

Arief juga melihat adanya perubahan profil risiko dan pergerakan komposisi industri reksadana menuju kelas aset yang dianggap lebih rendah risikonya. Seperti yang terjadi pada reksadana saham yang merupakan kelas aset dengan risiko tertinggi, mengalami penurunan terbesar hingga 31 persen dibandingkan periode sebelumnya.

"Sehingga porsi kontribusinya terhadap dana pengelolaan di 22 persen pada 2020, turun dari 29 persen tahun sebelumnya," ungkap dia.

Sementara itu, reksadana pasar uang yang merupakan kelas aset dengan risiko terendah mengalami kenaikan terbesar sebanyak 11 persen. Dengan begitu, porsi kontribusi mengalami kenaikan 11 persen menjadi 13 persen.

"Latar belakang inilah yang mempengaruhi kinerja perusahaan, terutama karena Ashmore Asset Management Indonesia adalah salah satu manajemen investasi yang memiliki fokus reksadana saham sekitar 80 persen," tukas Arief.

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Ashmore Asset Management Bukukan Laba Bersih Rp 79,6 Miliar

Sebelumnya, PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AAMI) menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada Rabu, 7 Oktober 2020. Dalam sesi paparan publik, perseroan menceritakan laporan kinerja keuangan di tengah pandemi Covid-19.

Direktur Ashmore Asset Management Indonesia Arief Cahyadi Wana mengatakan, tahun buku 2019/2020 merupakan periode bersejarah bagi perseroan, dimana pada awal 2020 ini perseroan melakukan penawaran umum perdana saham (IPO), dan menjadi perusahaan manajemen investasi pertama yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).

 

"Namun tahun ini juga merupakan tahun yang penuh tantangan, terutama pada semester pertama tahun ini sebagai imbas dari Covid-19," ujar Arief dalam sesi teleconference. Rabu (7/10/2020).

Arief menyampaikan, menurut rilis laporan keuangan Ashmore tahun buku 2019/2020, emiten berkode saham AMOR ini mencatatkan pendapatan bersih yang menurun 11,8 persen menjadi sebesar Rp 128,7 miliar.

"Ini merupakan penurunan pertama yang terjadi sejak 3 tahun terakhir ini, dan hampir semuanya terjadi disebabkan oleh pelemahan pasar modal secara global di semester pertama tahun ini," ungkapnya.

Sementara itu, AAMI juga mencatatkan EBITDA sebesar Rp 98,4 miliar dan EBITDA margin 54 persen. Perolehan tersebut dikatakan Arief masih lebih baik dari rata-rata industri selama masa pandemi ini.

"Dan juga perusahaan membukukan laba bersih sebesar Rp 79,6 miliar, dengan tingkat return on investment sebesar 49 persen, dan juga hasil bagus yang masih di atas rata-rata industri," sambungnya.

Menurut dia, industri aset manajemen Indonesia merupakan salah satu sektor yang saat ini membukukan pertumbuhan jangka panjang yang baik.

"Sejak 2005, rata-rata pertumbuhan dana kelolaan mencapai 21 persen setiap tahunnya sampai akhir 2019. Pertumbuhan yang di atas pertumbuhan ekonomi nasional tersebut kami percaya disebabkan oleh masih rendahnya penetrasi investasi di kalangan umum Indonesia, dan masih bertumbuhnya tingkat literasi investasi," tuturnya.