Sukses

Kronologi PGAS Terlibat Sengketa Pajak Rp 3,06 Triliun

PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) menyebutkan kalau memiliki perkara hukum yaitu sengketa pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atas transaksi tahun pajak 2012 dan 2013

Liputan6.com, Jakarta - Manajemen PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) atau PGAS menjelaskan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) terkait kronologi perkara hukum atas sengketa pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Hal itu seiring ada permintaan BEI melalui Surat Indonesia Stock Exchange Nomor S-08051/BEI.PP2/12-2020 pada 23 Desember 2020.

Penjelasan itu terkait dari dampak dari putusan MA terkait permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), perseroan berpotensi kewajiban membayar pokok sengketa sebesar Rp 3,06 triliun. Namun, perseroan belum menerima salinan putusan MA sesuai prosedur yang ditetapkan dalam UU Mahkamah Agung.

"Perseroan memiliki potensi kewajiban membayar pokok sengketa sebesar Rp 3,06 triliun ditambah potensi denda. Namun demikian, perseroan tetap berupaya menempuh upaya-upaya hukum yang masih memungkinkan untuk memitigasi putusan MA tersebut," tulis Sekretaris Perusahaan PT Perusahaan Gas Negara Tbk, Rachmat Hutama.

Dalam keterbukaan informasi BEI, ditulis Senin, (4/1/2021), perusahaan berkode emiten PGAS ini menyebutkan kalau memiliki perkara hukum yaitu sengketa pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atas transaksi tahun pajak 2012 dan 2013 yang telah dilaporkan di dalam catatan Laporan Keuangan Perseroan per 31 Desember 2017 dan seterusnya. Pokok sengketa itu antara lain:

a.Sengketa tahun 2012 berkaitan dengan perbedaan penafsiran dalam memahami ketentuan perpajakan yaitu PMK-252/PMK.011/2012 (PMK) terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi.

b.Sengketa tahun 2013 berkaitan dengan perbedaan pemahaman atas mekanisme penagihan Perseroan. Pada Juni 1998, perseroan menetapkan harga gas dalam US$/MMBTU dan Rp/M3 disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang Rp terhadap US$ yang sebelumnya harga gas dalam Rp/M3 saja.

DJP berpendapat porsi harga Rp/M3 tersebut sebagai penggantian jasa distribusi yang dikenai PPN, sedangkan perseroan berpendapat harga dalam USD/MMBTU dan Rp/M3 merupakan satu kesatuan harga gas yang tidak dikenai PPN.

c.Atas sengketa pada huruf a dan b di atas, DJP menerbitkan 24 surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) dengan total nilai Rp 4,5 triliun untuk 24 masa pajak.

d.Selain sengketa pada huruf a dan b di atas juga masih terdapat sengketa Perseroan dengan DJP untuk jenis pajak lainnya periode 2012-2013 melalui penerbitan 25 SKPKB dengan nilai Rp 2,2 miliar.

Adapun proses upaya hukum yang telah diajukan atas penetapan 49 SKPKB antara lain:

i.Pada 2017, perseroan mengajukan upaya hukum keberatan, namun DJP menolak permohonan tersebut.

ii.Selanjutnya, pada 2018, perseroan mengajukan upaya hukum banding melalui pengadilan pajak dan pada 2019, pengadilan pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan banding perseroan dan membatalkan ketetapan DJP atas 49 SKPKB.

iii. Atas putusan pengadilan pajak tersebut, pada 2019, DJP mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Sengketa Lain?

Selain itu, Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama menuturkan,  perseroan juga memiliki sengketa pajak dengan pokok perkara yang sama yaitu perbedaan penafsiran ketentuan PMK terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi untuk periode 2014-2017. DJP menerbitkan 48 SKPKB dengan nilai Rp 3,82 triliun.

Adapun upaya yang telah dilakukan oleh perseroan adalah mengajukan upaya keberatan kepada DJP atas penerbitan 48 SKPKB periode 2014-2017 itu dengan hasil DJP mengabulkan seluruh permohonan keberatan perseroan dan membatalkan tagihan dengan nilai Rp 3,82 triliun.