Sukses

Begini Strategi Saat Investasi Keuangan pada 2021

PT Bahana TCW menyatakan ada sejumlah indikator utama yang perlu dicermati investor dalam memasang strategi investasi di pasar keuangan.

Liputan6.com, Jakarta - PT Bahana TCW Asset Management memprediksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dapat mencapai 6.800 pada 2021. Selain itu, Bahana TCW juga melihat sejumlah hal yang perlu dicermati investor ketika investasi.

Sejumlah sentimen positif yaitu dari penguatan ekonomi dan pasar modal Indonesia seperti penerapan sovereign wealth fund (SWF) untuk pembiayaan infrastruktur. 

Direktur Strategi Investasi Bahana TCW Asset Management, Budi Hikmat menuturkan, jika implementasi SWF dikelola secara berkualitas, kompeten dan prudent, ekonomi dan IHSG akan kembali naik.

Selain itu, Budi menuturkan, ada sejumlah indikator utama yang perlu dicermati investor dalam memasang strategi investasi di pasar keuangan.

Salah satunya rotasi kelas aset yang relatif positif negara berkembang atas kemenangan Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) yang baru. Biden dipercaya akan menormalisasi pengelolaan ekonomi yang lebih fokus pada penguatan infrastruktur, menekan ketimpangan kemakmuran dan kelestarian lingkungan hidup.

Biden juga diharapkan memperbaiki hubungan internasional terutama dengan sekutu untuk lebih efektif menghadapi pertarungan hegemoni terhadap China.

"Ringkasnya kemenangan Biden diyakini mengurangi daya tarik bursa saham negara maju yang selama 10 tahun terakhir menikmati outperformance terhadap negara berkembang," ujar dia dalam keterangan tertulis, ditulis Sabtu (9/1/2021).

Isyarat rotasi regional global ditunjukkan oleh indeks bursa saham negara berkembang yang tahun lalu naik sekitar 20 persen. Indeks dua negara yang melonjak seperti Sensex India 16 persen dan Shcomp China 13,9 persen yang diyakini lebih memiliki digital economy ketimbang negara berkembang lain.

Ia menambahkan, kelebihan likuiditas ditandai dengan suku bunga Libor yang terus turun hingga 0,25 dan indeks dolar AS yang melemah tujuh persen atau sekitar 13 persen dari titik terkuat 102,8 pada 20 Maret 2020.

"Bloomberg Financial Condition Index untuk Amerika Serikat (BFCIUS) adalah indikator utama untuk menunjukkan kekuatan secara umum pasar uang, fixed-income dan saham. Angkanya sudah kembali positif setelah menukik minus 6,3 persen pada 24 Maret 2020,” ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 3 halaman

Sentimen Dalam dan Luar Negeri

Akan tetapi, indikator ini yang paling penting adalah FRAOIS untuk mengukur tingkat ketidakpercayaan sesama bank komersial di AS.

Transmisi kebijakan moneter mencakup tiga jenjang. Pertama, dari bank sentral seperti the Federal Reserve kepada perbankan komersial yang sangat cepat.

Kedua, antarbank komersial terkait penggunaan kelebihan likuiditas untuk memenuhi giro wajib minimum kepada bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed). Bank yang kekurangan dapat meminjam kepada yang mengalami kelebihan.

"Fraois adalah spread antara bunga yang ditetapkan bank komersial satu sama lain terhadap bunga overnight the Fed. Lonjakan spread ini seperti yang terjadi pada 13 Maret 2030 akan mempengaruhi jenjang ketiga yakni dari bank komersial kepada dunia usaha melalui kredit. Itu sebabnya kesulitan likuiditas memicu risiko kredit perusahaan yang kemudian memicu penjualan aset untuk mendapatkan precautionary liquidity ini," kata Budi.

Budi menuturkan, terlihat indikator Fraois ini sudah turun bahkan lebih rendah dari posisi awal 2020.

"Ini yang melandasi optimisme kami bahwa keadaan sudah lebih baik. Gejolak turun naik harga saham hanya mengalami volatilitas akibat aksi ambil untung sejumlah investor tanpa mengarah kepada situasi seperti Maret 2020,” kata dia.

 

3 dari 3 halaman

Sentimen Lainnya

Budi menambahkan, indikator dari dalam negeri terlihat dari risiko mata uang rupiah cenderung menurun malah berpotensi menguat di bawah 13.500.

Harga sejumlah komoditas ekspor antara lain crude palm oil (CPO), nikel, batu bara, dan karet juga meningkat. Sedangkan harga minyak masih negatif.

"Dengan melihat berbagai indikator di atas, Bahana TCW melihat investor akan terlebih dahulu masuk ke pasar obligasi (SBN). Hal ini dilandasi oleh yield obligasi Indonesia dengan tenor 10 tahun yang menarik di mata investor yakni 5,89 persen," ujar Budi.

Sementara itu, obligasi AS tenor 10 tahun hanya memiliki imbal hasil 0,93 persen. Sepanjang 2020, indeks SBN Abtrindo tumbuh 15,1 persen, sedangkan IHSG susut 5,1 persen.

Budi menilai, kenaikan aset SBN ini menjadi prasyarat untuk keberlanjutan reli pada 2021 yang sudah ditopang penguatan daya beli, terlihat indikator pertumbuhan uang beredar M1.

Sementara, pertumbuhan M1 di Amerika Serikat 53,2 persen adalah angka tertinggi selama 60 tahun terakhir.

Meski ada kecemasan peningkatan inflasi, Budi menuturkan, risiko inflasi sementara ditahan oleh proses pengurangan utang (deleveraging) masyarakat di negara maju dan penguatan digitalisasi ekonomi.

“Dengan sejumlah indikator tersebut, kami menyarankan agar investor bisa memanfaatkan proses reflasi aset finansial dengan mengurangi alokasi ke pasar obligasi maupun pasar saham,” kata Budi.