Sukses

Berpotensi Terdepak dari BEI, Intip Kinerja Keuangan Bakrie Telecom hingga September 2020

PT Bursa Efek Indonesia (BEI) suspensi saham PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) sejak 27 Mei 2020.

Liputan6.com, Jakarta - PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) masuk dalam jajaran emiten yang berpotensi terdepak dari Bursa Efek Indonesia (BEI).

Merujuk laman keterbukaan informasi BEI, ditulis Selasa (19/1/2021), saham Perseroan terhitung telah disuspensi selama 12 bulan pada 27 Mei 2020. Kemudian masa suspensi dilanjutkan hingga 24 bulan pada 27 Mei 2021.

Tak hanya terancam delisting oleh BEI, dalam laporan keuangan perseroan per 30 September 2020, BTEL tercatat memiliki utang mencapai Rp 9,67 triliun. Utang ini turun dari periode 2019 sebesar Rp  13,35 triliun. Sementara aset yang dimiliki perseroan hanya sekitar Rp 4,4 miliar. Merosot dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp Rp 11,23 miliar.

Hal ini menyebabkan perusahaan mengalami defisiensi modal, lantaran tingkat kewajibannya yang lebih besar dibandingkan dengan aset yang dimilikinya. Dengan kondisi demikian, maka BEI menyematkan 'tato' atau notasi E dan D pada BTEL.

PT Bakrie Telecom Tbk mencatatkan pendapatan usaha bersih susut 24,55 persen dari Rp 4,02 triliun hingga kuartal III 2019 menjadi Rp 3,03 triliun hingga kuartal III 2020.

Pendapatan usaha bruto jasa telekomunikasi dan teknologi perseroan merosot 21,12 persen menjadi Rp 8,10 triliun hingga September 2020 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 10,27 triliun.

 

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Bakrie Telecom Catatkan Rugi

Dalam laporan tersebut, BTEL mencatatkan rugi bersih mencapai Rp 60,17 miliar. Berbanding terbalik dari periode yang sama pada 2019, perseroan mencatatkan laba bersih sebesar Rp 7,17 miliar.

Bakrie Telecom berhasil menekan signifikan rugi usaha, yakni dari yang awalnya Rp 23,28 miliar pada Desember 2019 menjadi Rp 7,68 miliar pada September 2020.  Namun, pada saat yang sama beban keuangan mengalami pembengkakan hebat, yakni dari yang hanya Rp15 juta pada Desember 2019 menjadi Rp 71,57 miliar pada September 2020.

Kondisi tersebut diperparah oleh laba selisih kurs yang justru merosot pada September 2020 menjadi Rp 24,49 miliar, dari Rp 195,83 miliar pada 2019. Inilah yang kemudian memangkas keuntungan perusahaan hingga berujung rugi besar.