Sukses

Pakai Pesawat Bombardier, Garuda Indonesia Rugi USD 30 Juta per Tahun

PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) menyatakan negosiasi terkait pengembalian 12 armada masih belum menemui titik terang.

Liputan6.com, Jakarta - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) memilih untuk mengakhiri kontrak sewa 12 pesawat Bombardier CRJ 1000 dengan Nordic Aviation Capital (NAC) karena mengalami kerugian setiap tahun.

Meski baru akan jatuh tempo pada 2027, Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra mengatakan, pihaknya mengalami kerugian hingga USD 30 juta atau Rp 420,04 miliar (asumsi kurs Rp 14.000 per dolar AS) setiap tahun.

"Tidak dapat dipungkiri selama tujuh tahun melakukan operasi, setiap tahun secara rata-rata mengalami kerugian lebih dari USD 30 juta per tahun. Sedangkan sewa pesawat sendiri USD 27 juta," kata Irfan secara virtual, Rabu (10/2/2021).

Pada 2011, Garuda Indonesia resmi menggunakan 18 pesawat Bombardier sebagai salah satu armadanya. Menggunakan dua skema berbeda, 12 armada berstatus operating lease dari lessor Nordic Aviation Capital (NAC).

Khusus enam armada lainnya, skema yang digunakan ialah financial lease bersama financial lease Export Development Canada hingga 2024.

Negosiasi terkait pengembalian 12 armada tersebut masih belum menemui titik terang. Karena itu, NAC disebut akan memberikan dengan nilai yang lebih tinggi dari sisa kontrak.

“Kami berusaha melakukan negosiasi dengan harga yang lebih rendah dari itu, karena harga ini yang masih belum ketemu. Permintaan mereka (NAC) itu enggak masuk akal, malah naik,” kata Irfan.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Tata Kelola Perusahaan Jadi Pertimbangan

Selain itu, Menteri BUMN Erick Thohir menyebut, penghentian kontrak operating lease dengan NAC merupakan pertimbangan tata kelola perusahaan.

“Keputusan ini juga mempertimbangkan tata kelola perusahaan yang baik,” tutur Erick.

Pengambilan langkah ini juga tak terlepas dari keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta penyelidikan oleh Serious Fraud Office (SFO) Inggris terkait indikasi suap dari pabrikan kepada oknum pimpinan Garuda Indonesia pada 2011.