Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Joe Biden telah menandatangani paket stimulus COVID-19 sebesar USD 1,9 triliun, yang diberi nama American Rescue Plan Act of 2021.
Sebelumnya, pemerintah AS di bawah kepemimpinan Donald Trump diketahui telah menggelontorkan stimulus USD 2,2 triliun dengan nama Coronavirus Aid, Relief, and Economic Security Act yang diteken pada 27 Maret 2020.
Baca Juga
Pemerintah AS kembali menggelontorkan paket stimulus COVID-19 lanjutan senilai USD 2,3 triliun, dengan nama Consolidate Appropriations Act, 2021, yang ditandatangani Presiden Trump pada 27 Desember 2020.
Advertisement
Pengamat pasar modal, Teguh Hidayat menilai, stimulus jumbo tersebut telah direspons oleh Dow Jones yang mencatatkan break new high di sekitar 32.000. Angka ini, kata Teguh, masih mungkin untuk melanjutkan kenaikan.
Di sisi lain, Teguh membeberkan menurut data terakhir 28 dari 100 warga AS sudah menerima vaksin. Sehingga beberapa negara bagian sudah tidak lagi mewajibkan penggunaan masker, dan orang-orang sudah diizinkan untuk berkerumun.
"Life is slowly returning to (old) normal,” kata Teguh, seperti dikutip dari laman pribadinya teguhidayat.com, ditulis Rabu (17/3/2021).
“Tapi saya kira ini justru akan menjadi kabar buruk untuk Wall Street,” ia menambahkan.
Alasannya, Teguh melihat kucuran stimulus tersebut lebih banyak masuk ke instrumen keuangan seperti saham hingga bitcoin, dan bukan ke sektor riil. Hal ini karena pemberlakukan pembatasan selama pandemi COVID-19 berlangsung.
“Sebagian (atau sebagian besar) stimulus yang diberikan pemerintah masuknya bukan ke sektor riil melainkan instrumen keuangan, dan ini juga yang menjelaskan kenapa bitcoin bisa melejit,” kata Teguh.
Sebagai gambaran, penerima paket stimulus COVID-19 yakni masyarakat menengah ke bawah mungkin akan membelanjakan uang stimulus mereka untuk kebutuhan sehari-hari. Uang tersebut kemudian berpindah tangan ke pemilik toko.
Dari sini, Teguh menilai pemilik toko akan lebih memilih menginvestasikan uangnya ketimbang merekrut karyawan baru atau perluasan bisnis.
"Selama prokes masih ada, maka usaha riil apapun tidak akan menghasilkan keuntungan yang optimal,” kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Dorong Pemulihan Ekonomi
Namun, seiring dengan upaya berbagai negara dalam melakukan vaksinasi, utamanya di AS, ini akan mendorong pemulihan ekonomi yang lebih cepat. Saat ekonomi membaik, Teguh menilai Dow akan turun amblas.
Teguh menulis,Pemerintah AS mungkin akan mengumumkan tidak ada stimulus baru, dan Jerome Powell juga mengumumkan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga, yang itu artinya akan menurunkan money supply.
"Kondisi ini disebut taper tantrum, yakni kondisi di mana Pemerintah akan tidak lagi berusaha menstimulus ekonomi. Pada saat itulah Dow akan anjlok, tapi mungkin dengan penurunan yang tidak terlalu signifikan, karena disisi lain investor akan juga melihat fakta bahwa ekonomi sudah pulih,” ujar dia.
Advertisement