Sukses

500 WNI Jadi Korban Dugaan Penipuan Investasi Pakai Skema Ponzi di AS

Kasus dugaan penipuan investasi memakai skema ponzi telah membuat ratusan warga dan diaspora Indonesia menjadi korban.

Liputan6.com, Jakarta - Lebih dari 500 warga dan diaspora Indonesia di Amerika Serikat (AS) menjadi korban dugaan penipuan investasi dengan skema ponzi atau pola piramida. Sebagian korban telah melapor pada kepolisian setempat dan FBI. 

“Iya, saya sudah lapor polisi. Laporannya, ia minta data-data kita orang dan kejadiannya bagaimana. Lapor ke FBI tapi FBI-nya lewat telepon. Mereka minta data-data aku dan pelaku,” kata William Kusanto.

Oleh karena itu, Atase Kepolisian di Kedutaan Besar Republik Indonesia KBRI di Washington DC Ary Laksamana Widjaja meminta agar warga dan diaspora Indonesia yang menjadi korban untuk segera melapor.

"Yang sudah melapor memang belum banyak, tapi kami perkirakan ada lebih dari 500 orang yang menjadi korban. Kami sudah menyampaikan informasi awal pada penegak hukum di Amerika. Dalam hal ini FBI (Biro Penyidik Federal), juga mengkoordinasikan laporan-laporan yang masuk,” ujar Atase Kepolisian di Kedutaan Besar Republik Indonesia KBRI di Washington DC, Ary Laksmana Widjaja dikutip dari Kanal Global Liputan6.com, Selasa (15/6/2021).

WNI dan diaspora Indonesia tergiur dengan bunga tinggi yang ditawarkan. Bunga ditawarkan mencapai dua digit.

“Awalnya saya membaca informasi di media sosial, dari Facebook perkumpulan Hibachi dan Pondok Gaul. Nama yang menawarkan program ini Immanuel Jaya. Saya tergiur karena program itu menawarkan bunga 18 persen per bulan. Jadi pada 19 Oktober 2019 saya menelpon orang itu, saya masih ingat sekali,” kata Gunawan Widjaja, seorang diaspora Indonesia di New York kepada VOA, pada awal Juni 2021.

Selain itu, ada mahasiswa New York University Steven Caraballo yang mengenal skema ponzi ini dari istri dan teman-teman kerja istrinya. Caraballo dijanjikkan mendapat untung dari bunga 15 persen ditambah keuntungan tambahan jika merujuk orang-orang lain sebesar dua persen.

“Saya dijanjikan mendapat 15 persen dan bonus rujukan 2 persen dari apa yang saya investasikan. Untuk pertama kali, saya menerima bunga dari USD 4.000 yang saya berikan,” kata dia.

Ia yakin, cara tersebut meraih kepercayaannya. Ia pun mengalami rugi sekitar USD 55 ribu.”Jadi pertama kali saya mendapat uang yang saya berikan ditambah bunganya. Tetapi ketika saya mulai menanamkan lebih banyak uang, saya tidak mendapat apapun. Total kerugian USD 55 ribu,” ujar dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 3 halaman

Imbauan

Melihat kasus tersebut, Atase Kepolisian di KBRI, Ary Laksamana Widjaja telah berkali-kali minta agar warga dan diaspora Indonesia yang menjadi korban untuk segera melapor ke pihak berwenang baik polisi dan FBI.

“Katakanlah ada yang melapor di New York, Los Angeles, Houston, Chicago, Tennessee dan sebagainya; mungkin satu dua orang dengan kerugian 5-10 ribu dolar per orang. Tampaknya kecil. Tapi jika yang melaporkan banyak maka akan tampak bahwa secara keseluruhan kasus ini besar dan aparat akan bertindak lebih cepat untuk mencegah lebih banyak korban yang jatuh,” tutur Ary.

Ary memahami, keengganan warga dan diaspora Indonesia melapor karena sebagian ada yang tidak memiliki dokumen resmi.

“Kita sekarang mendorong mereka untuk melapor dan jangan takut dengan masalah status keimigrasian mereka. Tidak ada kaitan antara permasalahan hukum – pidana maupun perdata – dengan keimigrasian,” ujar dia.

 

3 dari 3 halaman

Bermula Sejak 2019

Kasus dugaan penipuan investasi ternyata bukan kasus baru. Kasus ini sudah bermula sejak 2019 ketika puluhan orang menanamkan investasi keuangan pada dua perusahaan yaitu Global Travel dan Easy Transfer yang dikelola diaspora Indonesia di New York. Para investor ini dijanjikan mendapat keuntungan dari bunga antara 12 – 73 persen.

Menurut pengakuan para korban, hampir seluruh transaksi investasi dilakukan dalam bentuk uang tunai tanpa melibatkan institusi perbankan atau perjanjian resmi dari notaris. Jika ada pun, tidak tertera rincian tentang identitas perusahaan dan jenis investasinya. 

Beberapa dokumen yang diperoleh VOA hanya menyebut nama program. Alamat yang digunakan pun hanya sebuah gedung apartemen tanpa merujuk unit tertentu. Perjanjian investasi pada setiap nasabah pun berbeda-beda.

“Saya punya kontrak atau surat perjanjian dengan Immanuel. Tetapi tidak menyebutkan dengan akurat saham, atau properti, atau lokasi investasinya. Mereka berjanji akan mengembalikan uang saya ditambah keuntungan bunganya, dan mereka bahkan mengatakan dalam skenario terburuk, saya akan mendapat kembali uang yang pertama kali saya tanamkan. Tetapi pada kenyataannya?... Saya telah melaporkan (pada pihak berwenang) dan saya berharap kedua pemerintahan – Indonesia dan Amerika – segera terlibat. Kami tidak ingin orang-orang ini kabur begitu saja.”

Setidaknya dua orang kakak beradik diaspora Indonesia yang diduga sebagai pelaku skema ponzi ini menghilang segera setelah kasus ini mencuat di beberapa negara bagian. Meskipun demikian keduanya diduga masih tinggal di kawasan Elmhurst, New York. VOA telah berulangkali menghubungi keduanya melalui telepon dan meninggalkan pesan, tetapi tidak mendapat jawaban apapun.