Sukses

Marak Rencana IPO Startup, IDX Incubator Kian Diminati

BEI telah memiliki layanan beberapa papan pengembangan yang bertujuan bisa merangkul pelaku startup agar memanfaatkan pasar modal Indonesia, seperti IDX Incubator.

Liputan6.com, Jakarta - Bursa Efek Indonesia (BEI) terus mendorong perusahaan rintisan teknologi (startup) untuk melakukan Penawaran Umum Perdana Saham (Initial Public Offering/IPO).

BEI telah memiliki layanan beberapa papan pengembangan yang bertujuan bisa merangkul pelaku startup agar memanfaatkan pasar modal Indonesia, seperti IDX Incubator.

IDX Incubator merupakan program yang diinisiasi oleh BEI untuk mendukung sekaligus mengembangkan perusahaan dengan skala kecil dan menengah agar menjadi bagian dari Perusahaan Tercatat di BEI.

Asisten VP layanan dan Pengembangan Perusahaan Tercatat BEI, Bima Ruditya Surya mengatakan, seiring dengan maraknya rencana IPO perusahaan rintisan beberapa waktu terakhir, IDX Incubator juga kian diminati.

"Dengan adanya ‘hype’ ini makin banyak minat ke IDX incubator," kata Bima dalam diskusi virtual, Kamis (24/6/2021).

Pada saat Papan Akselerasi pertama kali launching pada 2019, IDX Incubator melakukan penyesuaian program menjadi "Road to IPO", dengan kurikulum yang dirancang lebih fokus untuk membantu perusahaan dengan skala aset kecil dan menengah dalam persiapan Perseroan untuk melakukan proses Initial Public Offering (IPO) dan pencatatan saham di BEI. Adapun binaan yang tergabung dalam program “Road to IPO” tersebdar di tiga kota besar, yakni Jakarta, Surabaya, dan Bandung.

"Saat ini binaan kita sudah ada 121 perusahaan yang ada di IDX incubator,” beber Bima.

Sementara, total binaan IDX Incubator yang sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia sebanyak 3 binaan. Perusahaan itu antara lain PT Yelooo Integra Datanet Tbk (YELO), PT Tourindo Guide Indonesia Tbk (PGJO), dan PT Cashlez Worldwide Indonesia Tbk (CASH).

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Kata Ekonom Terkait IPO Startup

Sebelumnya, Perusahaan rintisan (startup) untuk mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi perdebatan tersendiri di kalangan investor hingga pengamat. Lantaran ada sudut pandang konvensional yang lebih mempertimbangkan kinerja Perusahaan, ada pula yang melihat dari sisi capital gain atau keuntungan.

Seperti diketahui, Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah mempersiapkan alternatif aturan baru untuk mengakomodir perusahaan rintisan (startup) unicorn untuk melantai di Papan Utama. Alternatif aturan tersebut nantinya akan termaktub dalam revisi Peraturan Bursa I-A.

Secara garis besar, aturan yang diubah yakni terkait  persyaratan yang mewajibkan calon perusahaan tercatat untuk sudah membukukan laba usaha, paling tidak dalam kurun satu tahun terakhir untuk dapat tercatat di papan utama. Sementara aturan tersebut tidak fit dengan karakteristik perusahaan yang terus berkembang belakangan, termasuk tetapi tidak terbatas kepada tech companies. 

Misalnya, perusahaan yang karakteristiknya masih fokus meningkatkan pangsa pasar dan belum laba, tetapi valuasinya besar dan berpotensi untuk jadi salah satu peraih dana terbesar di pasar modal Indonesia. 

Meski begitu, di tengah situasi ekonomi yang tidak pasti akibat pandemi COVID-19, Ekonom Indef, Bhima Yudhistira menilai tahun ini merupakan momentum bagi startup untuk mencatatkan saham di BEI.

"Justru sekarang momennya, karena 2022 atau 2023 keadaannya sudah sangat berubah. Tapering off jelas. Investor itu perilakunya akan mencari aset-aset yang lebih aman, entah aset di luar negeri bahkan surat utang yang aman di negara berkembang pun juga bukan pilihan kalau dalam kondisi tapering off memicu taper tantrum,” kata dia dalam diskusi virtual, Kamis (24/6/2021).

Sementara ia mengakui, emiten yang akan melantai dari perusahaan digital dipersepsikan dalam kategori tinggi risiko. Hal inilah yang menurut Bhima memicu perdebatan. Antara yang mempertimbangkan profit dan yang mempertimbangkan capital gain.

Bhima menuturkan, maraknya rencana IPO startup ini merupakan konsekuensi dari pendanaan secara tertutup lewat modal ventura yang menurun selama pandemi. “Sehingga mau tidak mau, exit strategi mencari pendanaan secepat mungkin,” kata dia.

Adapun penurunan itu, kata Bhima, disebabkan beberapa situasi yang secara teknis kurang efektif dilakukan selama pandemi. Seperti pertemuan secara daring yang dinilainya kurang mengakomodir. Bhima mewanti-wanti terjadinya dotcom bubble. Yakni gelembung spekulasi yang terjadi antara tahun 1998–2000 ketika bursa saham di negara-negara industri mengalami kenaikan nilai ekuitas secara tajam berkat pertumbuhan industri sektor Internet dan bidang-bidang yang terkait.

"Banyak yang semangat IPO. Tapi ketika startup-nya setelah mendapat suntikan dana publik ternyata performanya tidak terlalu bagus, maka itu akan mengakibatkan koreksi yang berdampak pada semua bursa saham,” ujar Bhima.