Liputan6.com, Jakarta - Sektor batu bara dinilai masih baik seiring ada permintaan untuk listrik. Namun, pertumbuhan batu bara diprediksi tidak semenarik energi baru terbarukan.
Head of Investor Relations PT Indika Energy Tbk (INDY), Richard Silaen menuturkan, konsumsi batu bara akan meningkat pada 2025 menjadi 60 persen, bahkan mencapai 65 persen pada 2029. Hal ini seiring pemerintah akan memakai batu bara untuk listrik. Selain itu, pembangkit listrik di Asia juga masih memakai batu bara.
Baca Juga
"Hingga saat ini batu bara salah satu sumber energi paling murah yang ada. Kontribusi batu bara Indonesia akan lebih banyak lagi. Kalau kita lihat pembangkit listrik di Asia semua secara proporsional secara signifikan dari coal,” ujar dia dalam diskusi virtual yang dikutip Minggu (4/7/2021).
Advertisement
Dengan melihat kondisi itu, Richard menuturkan, prospek batu bara masih baik. Namun, pertumbuhan kinerja sektor batu bara diperkirakan single digit.
"Kita percaya masih dibutuhkan (batu bara-red). Outlook tak jelek, growth tak semenarik EBT. Kalau coal bisnis long term single digit, EBT solar panel lima tahun ke depan double digit,” kata dia.
Oleh karena itu, pertumbuhan energi baru terbarukan (EBT) yang diperkirakan menarik mendorong Indika Energy masuk untuk mengembangkan EBT.
Richard yakin sektor batu bara juga masih baik pada 2021 ketimbang 2020. Hal ini mengingat pemulihan ekonomi China dan memasuki musim panas mendorong kebutuhan listrik meningkat.
"Karena cuaca panas sekali kebutuhan AC meningkat sebabkan harga setelah Chinesse New Year lebih tinggi dari tahun lalu. Biasanya memang ada siklus kuartal ketiga harga coal. Kita yakin coal akan tetap bagus,” ujar dia
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Harga Batu Bara Meroket Imbas Tensi Dagang China-Australia Memanas
Sebelumnya, memanasnya perang dagang Australia dan China berpengaruh terhadap sejumlah harga komoditas global termasuk batu bara.
Hal ini disampaikan Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi di Jakarta Jakarta, Selasa, 6 April 2021.
Agung mengungkapkan, tingginya tensi dagang tersebut berimbas positif karena naiknya permintaan batu bara Indonesia ke negeri Tirai Bambu itu. "Ini menjadi pemicu utama Harga Batu bara Acuan (HBA) bulan April naik USD2,21 per ton menjadi USD86,68 dari bulan Maret lalu," jelas Agung.
Memburuknya hubungan Australia - Tiongkok dipicu saat Canberra menyerukan penyelidikan internasional tentang asal-usul pandemi virus Corona pada April 2020. Sementara dari pihak Beijing menganggap hal tersebut bagian dari provokasi.
"Larangan tidak resmi atas impor batu bara asal negeri Kangguru menyebabkan produksi dan logistik Tiongkok ikut terganggu," imbuh dia.
Pengurangan ekspor ini, sambung Agung, juga ditimbulkan oleh adanya gangguan pelabuhan NCIG di Newcastle. Apalagi sebagian besar ekspor Newcastle ditujukan ke pelanggan jangka panjang di Asia Timur, seperti Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan.
Batu bara yang dikirim dari Newcastle sendiri merupakan batu bara termal berkalori tinggi yang digunakan di pembangkit listrik, bersama dengan beberapa jenis batu bara yang digunakan untuk membuat baja.
Faktor lain yang menjadi penyebab kenaikan HBA April adalah meningkatnya permintaan kebutuhan batu bara dari Jepang serta adanya sentimen terkait menurunnya suplai dibanding permintaan batu bara secara global.
Di samping faktor permintaan dan pasokan, perhitungan nilai HBA sendiri diperoleh dari rata-rata empat indeks harga batu bara dunia, yaitu Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya.
Sebagai catatan, nilai HBA sejak tahun 2021 cukup fluktuatif. Dibuka pada level USD75,84 per ton di Januari, HBA mengalami kenaikan pada bulan Februari USD87,79 per ton sebelum sempat turun di Maret USD84,47 per ton.
Nilai HBA bulan April ini akan dipergunakan pada penentuan harga batubara pada titik serah penjualan secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB Vessel).
Advertisement