Liputan6.com, Jakarta - Dalam investasi, investor tak melulu untung. Ada kala investor harus rela buntung. Namun, untuk memitigasi kerugian tersebut, sekaligus 'mengunci’ keuntungan yang sudah diperoleh agar tidak hilang lagi, pihak broker atau sekuritas akan secara otomatis menjual saham yang dipegang seorang investor, atau dikenal dengan istilah ’trailing stop loss’ (TSL).
Sebagai gambaran, jika Anda membeli saham A pada harga 1.000 dengan TSL ditetapkan pada level 10 persen. Maka, jika saham A kemudian langsung turun 10 persen dari harga 1.000, pihak broker akan otomatis jual cut loss.
Baca Juga
Sedangkan jika saham A sempat naik sampai 1.200, tapi kemudian balik arah dan turun 10 persen dari 1.200, maka sahamnya juga akan otomatis dijual. Namun, kali ini dalam posisi keuntungan karena modalnya tadi di 1.000.
Advertisement
Analis Samuel Sekuritas, William Mamudi mengatakan, secara garis besar ada dua tipe stoploss. Yakni berdasarkan waktu atau timing stop loss, dan berdasarkan harga atau pricing stoploss. Secara sederhana, William menuturkan, timing stop loss ini mengacu pada waktu perdagangan Bursa.
"Bursa tidak buka 24 jam. Jam bukanya sekarang jam 9-15 WIB. kita gunakan timing ini sebagai acuan kita,” kata dia dalam diskusi virtual, Sabtu (10/7/2021).
Sementara untuk pricing stop loss, yang menjadi pertimbangan adalah pergerakan harga saham atau price action. Di antaranya dengan mengidentifikasi support resistance, membaca tren dan menangkap aksi harga sebagai petunjuk strategi trading.
"Saham yang profitable trennya harus naik. Secara teknikal kalau mau untung trennya harus naik. kalau trennya turun, pasti akan loss. Kalau tren turun, bukannya tidak bisa untung. Tapi peluang buntungnya lebih besar,” kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Investor Terdiri Dua Tipe
Sudah menjadi rahasia umum, investor di pasar modalnya secara garis besar terdiri dari dua tipe. Yakni value investor yang berpegang pada fundamental suatu perusahaan yang menerbitkan saham.
Kedua yakni investor momentum atau teknikal, yang biasanya lebih fokus pada pergerakan harga saham di luar fundamentalnya.
"Value investing, artinya mikir ke arah fundamental. Cari saham yang lagi salah harga dan lagi diskon. Lalu para value investor percaya suatu saat saham ini akan berbalik ke harga yang benar, dan saat itulah saham cuan," ujar dia.
"Sementara momentum investor, orang teknikal, percaya saham cuan kalau momentumnya benar atau naik. Kalau kita dapat saham yang uptrend itulah saatnya trading," ia menambahkan.
Ia menuturkan, tidak ada analis yang 100 persen prediksinya tepat sehingga pada level tertentu, investor harus siap jual rugi sesuai analis awal. William juga mengatakan, pasar modal dalam negeri juga cukup fluktuatif sehingga tak jarang ada perhitungan yang meleset.
"Jadi ini di beberapa pertempuran kita kalah. Tapi ingat, dalam jangka panjang, portofolio kita tumbuh. Jadi walaupun kita lose the battle, kita enggak lose the war. Jadi kita harus bertahan untuk perjalanan jangka panjang. Itulah gunanya loss,” kata William.
Advertisement