Liputan6.com, Jakarta - Investor saham umumnya terbagi dalam dua kelompok. Yakni investor jangka panjang dan investor jangka pendek atau trader. Dalam trading sendiri, ada empat gaya yang umum dijumpai. Salah satunya scalping trader.
Scalping adalah gaya trading yang dilakukan dalam waktu sangat pendek, biasanya dalam hitungan detik atau menit. Gaya trading ini sangat aktif, tetapi hanya berusaha mendapatkan profit kecil.
Baca Juga
Gaya trading ini biasanya dilakukan dalam frekuensi tinggi (jumlah transaksi banyak). Seorang full time scalper, Bekti Sutikna mengaku ketiban cuan dengan gaya trading ini. Bahkan saat pasar domestik sempat anjlok pada Maret 2020 lalu, ia masih membukukan keuntungan yang tidak sedikit.
Advertisement
"Kelebihan scalping trading, saya termasuk orang yang selamat dari penurunan market ketika COVID-19 masuk Indonesia. Maret dan April itu sebulan saya bisa bukukan profit 150 persen,” kata dia dalam diskusi daring Indonesia Investment Education - Rahasia Cuan Scalper vs Swing Traders, ditulis Minggu (22/8/2021).
"Jadi waktu IHSG turun aku justru profit banyak karena disiplin. Begitu tidak sesuai harapan langsung cut. Scalping itu kelebihannya di situ. Jadi aset saya selalu aman,” ia menambahkan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tak Tahan Lihat Profit
Bekti mengakui dirinya adalah orang yang tidak tahan melihat keuntungan. Sehingga saat saham yang ia beli bergerak naik di kisaran 1-3 persen, langsung jual. Ia bahkan tak segan menjual saham pada harga yang lebih rendah dari harga belinya (cut loss) jika gerak saham tak sesuai harapan.
“Saya orang yang paling enggak tahan lihat profit. Jadi naik dikit 1-3 persen, bungkus. Dan itu saya lakukan berkali-kali. Yang penting profit,” kata Bekti.
Terkait gaya tradingnya itu, Bekti mengaku sempat dihujani pertanyaan, apakah tidak apa-apa jika tindakan itu menguntungkan sekuritas. Bekti mengatakan tak masalah. Sebab tanpa sekuritas ia juga tidak bisa melakukan trading. Sekali lagi yang terpenting, Bekti cuan.
Advertisement
Investor FOMO
Bekti mengatakan dirinya termasuk investor dengan kecenderungan FOMO, atau Fear Of Missing Out. Yakni fenomena ketika trader dan investor takut ketinggalan karena harga yang terus naik. Sehingga memaksa membeli pada harga yang sangat tinggi.
"Saya ini tipe orang yang fomo. Jadi harga pucuk pun saya sikat. Pernah saya sikat di harga paling pucuk. Tapi ternyata kalau memang dari harga pucuk sudah tidak sesuai harapan, artinya kok tidak direspons pasar, lepas."
"Jadi saya punya prinsip dari harga beli saya, kalau tidak sesuai harapan langsung saya cutloss. Saya nggak mau mikir yang lain. Ketika habis itu naik, yasuda itu bukan rejeki saya,” imbuhnya.