Liputan6.com, Jakarta - Seseorang dapat andil menjadi pemilik suatu perusahaan melalui pembelian saham perusahaan terbuka. Perusahaan berstatus terbuka (Tbk) atau dapat dimiliki publik ketika sudah melakukan pencatatan (listing) di bursa. Umumnya, hal ini dilakukan dengan menggelar penawaran umum perdana (initial public offering/IPO).
Namun, ada perusahaan yang tidak memenuhi syarat untuk IPO, sehingga dapat tercatat di Bursa dengan melakukan ‘backdoor listing’. Secara harfiah, backdoor listing dapat diartikan daftar lewat pintu belakang.
Baca Juga
Backdoor listing dilakukan melalui aksi merger atau akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan tertutup terhadap perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek (perusahaan terbuka/emiten). Proses ini terkadang disebut sebagai reverse takeover, reverse merger, atau reverse IPO.
Advertisement
Bursa Efek Indonesia (BEI), saat ini memang tidak mengatur secara khusus mengenai backdoor listing. Namun, Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna Setia menjelaskan, suatu Perusahaan Terbuka dapat diambil alih oleh perusahaan lain dan dalam rangka pengambilalihan Perusahaan Tercatat tersebut perlu diperhatikan ketentuan yang terkait.
Mengacu pada POJK No.9/POJK.04/2018 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka, Pengendali adalah pihak yang baik langsung maupun tidak langsung memiliki lebih dari 50 persen saham perusahaan atau mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak langsung dengan cara apapun pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan.
Sementara pengambilalihan adalah tindakan baik langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan perubahan pengendali.
"Harapan kami tentunya, corporate action tersebut dapat memberi dampak baik bagi peningkatan value perusahaan dan juga bagi perkembangan pasar modal Indonesia,” kata Nyoman, dikutip Sabtu (18/9/2021).
Adapun salah satu keuntungan backdoor listing, aksi ini dinilai lebih hemat ketimbang melakukan IPO. Hal itu karena perusahaan tertutup dapat membuat kesepakatan dengan perusahaan yang sudah terbuka, tidak harus mengeluarkan biaya pengajuan atau pendanaan untuk go public.
Pemegang saham di perusahaan target juga bisa mendapatkan uang tunai dari kesepakatan. Jika merger berhasil dan sinergi kedua perusahaan berjalan dengan baik, itu juga bisa menjadi nilai tambah bagi pemegang saham entitas baru (hasil kesepakatan).
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kelemahan
Meski begitu, bukan berarti aksi ini tak memiliki kekurangan. Mengingat prosesnya yang tidak melewati ‘saringan’ seperti IPO, backdoor listing acap dipergunakan oleh para pemilik modal untuk memiliki saham gorengan.
Emiten yang telah dipoles menjadi entitas baru hasil backdoor listing, umumnya akan dikelola sedemikian rupa sehingga sahamnya berpotensi melonjak tinggi. Namun, tak ada jaminan apakah harga tinggi tersebut akan berlangsung lama.
Bahkan tak jarang yang justru nyungsep setelah alami kenaikan yang signifikan. Saham RIMO yang dimiliki oleh Benny Tjokro merupakan salah satu contoh backdoor listing yang kurang baik.
Saat ini sahamnya terancam delisting karena telah disuspensi oleh BEI selama 12 bulan. Masyarakat yang memegang sahamnya kini tak bisa berbuat banyak.
Memang tidak seluruhnya saham yang menggunakan mekanisme backdoor listing berujung buntung bagi investornya. Bisa saja emiten itu menjadi korporasi yang maju setelah mengubah core bisnisnya.
Advertisement