Liputan6.com, Jakarta - Seiring tren environment, social and governance (ESG), sejumlah sektor usaha dinilai akan sulit untuk mencatatkan pertumbuhan ke depan.
Citigroup Head of ASEAN Research, Ferry Wong menyebutkan, salah satunya sektor batu bara, meski saat ini komoditas tersebut tengah naik daun. Ferry menilai, environment, social and governance (ESG) investing di Indonesia mungkin masih sangat kecil dibandingkan negara di Eropa.
Namun, penerapannya mengalami pertumbuhan, seiring kesadaran perusahaan untuk menerapkan bisnis yang berkelanjutan.
Advertisement
“Kalau di negara Eropa, ESG sudah berkembang cukup banyak. Kalau kita lihat selama 2-4 tahun belakangan, ESG itu sangat penting dan kita lihat sektor-sektor tertentu foreign ownershipnya turun kalau perusahaan tidak sesuai dengan ESG,” kata dia dalam CMSE 2021, Jumat (15/10/2021).
Baca Juga
"Misalnya sektor alkohol, rokok, itu mungkin agak sulit. Dan juga batu bara,” ia menambahkan.
Di sisi lain, manajer investasi juga akan menyesuaikan portofolio yang mengacu pada perusahaan ESG, sesuai dengan kesadaran investor mengenai isu sustainability.
“Jadi mereka waktu dalam memilih perusahaan, mereka harus memilih faktor-faktor tersebut. Ini untuk sustainable financing,” kata dia.
Ferry menambahkan, ESG investing di Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah cukup dikembangkan karena terdapat sustainable roadmap 1 dan suistanable roadmap 2. Untuk perusahaan di sektor-sektor tertentu di Indonesia juga sudah mulai melakukan sustainable financing report.
"Jadi sudah cukup bagus terutama perusahaan-perusahaan big cap seperti sektor perbankan, Astra International, Telkom Indonesia dan juga Barito Pacific. Dan ada beberapa mid cap mereka sudah melakukan sustainable financing report,” ujar dia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
OJK Dorong Pemulihan Ekonomi Melalui Proses Bisnis Berkelanjutan
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong pemulihan ekonomi di tanah air. Salah satunya melalui transisi sektor ekonomi ke sumber energi yang lebih hijau (green) dan proses bisnis yang berkelanjutan (sustainability).
Hal itu merujuk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 51/2017 tentang pelaksanaan kewajiban laporan berkelanjutan bagi lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik (POJK Keuangan Berkelanjutan).
Dengan beleid ini, akan semakin banyak emiten yang mengungkapkan laporan keberlanjutan. Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot mengatakan, pasar modal menyambut baik hal itu. Ditandai dengan penerbitan sustainability bonds atau obligasi berkelanjutan mencapai USD 1,92 miliar atau sekitar Rp
"OJK mewajibkan lembaga jasa keuangan untuk menyusun rencana aksi keuangan berkelanjutan. Pasar modal ini telah merespons melalui penerbitan sustainability green bond USD 1,92 miliar,” kata Sekar dalam Literasi Investasi OJK - Cerdas Investasi di Pasar Modal, Selasa, 24 Agustus 2021.
Selain itu, green bonds oleh PT SMI tercatat sebesar Rp 500 miliar. Sejalan dengan itu, kredit di sektor hijau tercatat sudah mencapai lebih dari Rp 800 triliun. Sementara blended finance tercatat sebesar USD 2,46 miliar.
"Ada juga peningkatan nilai indeks SRI KEHATI yang memiliki dana kelolaan Rp 2,5 triliun per April 2021,” kata Sekar.
Untuk akomodasi, kebutuhan yang tinggi atas reksa dana dan ETF berbasis ESG, Bursa Efek Indonesia (BEI) juga telah menerbitkan ESG Leader Index.
"Optimisme yang tinggi atas pasar modal Indonesia diharapkan mendorong adanya ruang pengembangan bagi instrumen pembiayaan yang memenuhi prinsip berkelanjutan ke depannya,” pungkas Sekar.
Advertisement