Liputan6.com, New York - Tidak sepakat dengan Gordon Gekko Michael Douglas, CEO Goldman Sachs (GS) David Solomon justru menganggap keserakahan tidak baik untuk Wall Street.
"Ketika saya mundur dan memikirkan karier saya 40 tahun, ada periode waktu di mana keserakahan jauh melampaui ketakutan. Kami berada di salah satu periode itu,” ujar Solomon dalam sesi wawancara pada Forum Ekonomi Baru di Singapura, Rabu, 17 November 2021 dilansir dari CNN.
Solomon menambahkan berdasarkan pengalamannya periode ketamakan tidak berlangsung lama. Akan ada sesuatu yang dapat menyeimbangkan kembali ekosistem dan membawa lebih banyak perspektif.
Advertisement
Ungkapan Solomon merupakan tanggapan atas situasi pasar saham yang mendekati level tertinggi sepanjang sejarah, serta aset kripto dan koin meme kripto yang melonjak di media sosial.
Baca Juga
Selain itu, perusahaan pembuat mobil listrik juga memperoleh keuntungan cukup tinggi. Nilai penjualan saham Rivian dan Lucid lebih tinggi daripada perusahaan mobil yang sudah mapan seperti Ford.
CEO Goldman Sachs bukanlah satu-satunya pihak yang mengkhawatirkan pertumbuhan tidak wajar di pasar saham. CNN Bisnis Fear dan Greed Index pun mengukur tujuh indikator yang mengindikasiksn “keserakahan ekstrem” pada bulan ini.
Solomon mengungkapkan kekhawatirannya terkait pemberian stimulus dalam jumlah besar selama pandemi COVID-19. Stimulus berasal dari bank sentral dan pemerintah di seluruh dunia ini memicu terjadinya inflasi yang lebih tinggi. Bersamaan dengan lonjakan harga saham yang ikut meroket.
Itu menjadi alasan kuat bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve AS (the Fed) mencari solusi guna menarik kembali sebagian stimulus atau mengurangi tersebut di tengah era krisis.
Pembelian sejumlah obligasi telah membantu pemerintah AS menjaga suku bunga jangka panjang di nominal rendah.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Waspada Inflasi dan Kenaikan Suku Bunga
Solomon masih meragukan apakah pasar sudah siap jika dalam waktu dekat the Fed melakukan tapering atau pengurangan stimulus. Ditambah dengan potensi peningkatkan suku bunga setelah pemberlakuan tappering.
"Ada kemungkinkan bank sentral akan melepaskan stimulus besar-besaran dengan cara menciptakan tapering tantrum atau semacam ‘kejutan’ bagi pasar. Potensi lainnya adalah mereka (the Fed) tidak akan melakukan hal tersebut," ujar Solomon yang dikutip dari laman CNN, Kamis, 18 November 2021.
Dia menuturkan jika suku bunga jangka panjang terus naik dan secara otomatis menghilangkan kegembiraan di pasar tertentu. Ia pun memperingatkan kepada investor untuk tidak melupakan inflasi besar yang pernah terjadi selama 1980-an. Saat itu, the Fed terpaksa menaikkan suku bunga secara drastis.
Dengan begitu banyaknya saham dan aset lainnya yang memiliki kinerja sangat bagus investor membodohi diri sendiri. Mereka cenderung berpikir pasar menghasilkan uang sangat mudah dan cepat.
"Saat ini semua orang merasa cukup pintar karena sebagian besar hal yang Anda investasikan sedang naik di mana biasanya tidak sebagus itu. Pengalaman saya mengajarkan ini adalah kondisi tidak akan berkelanjutan," ujar dia.
Advertisement
Pencapaian Saham Goldman Sachs
Tidak dipungkiri, Goldman Sachs miliknya mengantongi banyak keuntungan. Sepanjang 2021, saham GS naik setidaknya 50 persen dan menjadi salah satu saham dengan kinerja terbaikdi Dow Jones.
Bula lalu, pihaknya menyampaikan saham bank besar membukukan laba pada kuartal III 2021 USD 5,4 miliar setara Rp 76,8 triliun (estimasi kurs Rp 14.230 per dolar AS). Pencapaian ini melebihi eskpetasi para analis.
Pendapatan juga melebihi harapan Dari tahun ke tahun (YoY), total kenaikan sebesar 26 persen menjadi USD 13,6 miliar atau Rp 193,5 triliun. Pada 2021, bonus diharapkan adanya kenaikan tajam di Goldman Sachs dan bank investasi teratas lainnya.
Reporter: Ayesha Puri