Sukses

AS Masukkan Daftar Hitam 34 Entitas China

Para pejabat AS sejak lama mengeluhkan pencurian intelektual China yang merugikan miliaran dolar AS ekonomi pendapatan negara dan ribuan pekerjaan.

Liputan6.com, Washington - Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah pimpinan Presiden Joe Biden menyampaikan pihaknya memberlakukan pembatasan perdagangan lebih dari 30 lembaga penelitian dan entitas China pada Kamis, 16 Desember 2021 terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia dengan pengembangan teknologi yang merusak kemanan nasional Amerika Serikat.

Departemen Perdagangan Amerika Serikat menuding China Academy of Military Medical Sciences dan 11 lembaga penelitian memanfaatkan bioteknologi ke dalam senjata. Bioteknologi ini mendukung penggunaan akhir dan militer Tiongkok pakai.

Infomasi didapat dari pemberitahuan di Federal Register. Sayangnya, laporan itu tidak merinci lebih lanjut tentang dugaan persenjataan.

"Pengejaran bioteknologi ilmiah dan inovasi medis dapat menyelamatkan nyawa. Sayangnya, RRC memilih untuk menggunakan teknologi ini untuk mengejar kontrol atas rakyatnya dan penindasannya terhadap anggota kelompok etnis dan agama minoritas,” tulis Secretary of Commerce Gina Raimondo dalam sebuah pernyataan merujuk atas pelanggaran hak asasi manusia Republik Rakyat Tiongkok di Xinjiang, wilayah barat China dilansir dari CNBC, ditulis Minggu (19/12/2021).

Sebelumnya Departemen Luar Negeri AS menggambarkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Uyghur dan anggota minoritas muslim lain di Xinjiang sebagai penyokong kerja paksa untuk negar (China) dan penahanan massal. 

Awal Desember, Gedung Putih mengumumkan boikot diplomatik terhadap Olimpiade Musim Dingin 2022 di Beijing. Alasannya genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sedang berlangsung di Xinjiang dan pelanggaran HAM lainnya. Beijing membantah hal tersebut.

Kementerian Perdagangan AS memasukkan empat entitas ke dalam daftar hitam (black list). Tindakan ini berdasar karena peran perusahaan tersebut dalam memodernisasi militer China bertentangan dengan keamanan nasional AS dan kepentingan luar negeri.

Selain itu menambahkan lima perusahaan China lainnya karena dugaan memperoleh atau mencoba mendapatkan teknologi dari AS guna membantu memodernisasi Tentara Pembebasan China (People’s Liberation Army).

Para pejabat AS sejak lama mengeluhkan pencurian intelektual China yang merugikan miliaran dolar AS ekonomi pendapatan negara dan ribuan pekerjaan. Eksekutif Paman Sam mengatakan tindakan China termasuk mengancam keamanan nasional. Sementara itu, Beijing menyatakan tidak terlibat dalam pencurian kekayaan intelektual.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

AS Jatuhkan Hukuman kepada Entitas China

Pada Kamis, 16 Desember 2021,  Departemen Keuangan AS memberikan sanksi terhadap delapan entitas teknologi China. Hukuman diberikan karena pengawasan biometrik dan pelacakan etnis dan agama minoritas di China khususnya muslim Ughyur di Xinjiang.

Dari data Treasury entitas yang berada di daftar hitam AS antara lain  Cloudwalk Technology, Dawning Information Industry, Leon Technology Company, Megvii Technology, Netposa Technologies, SZ DJI Technology, Xiamen Meiya Pico Information, dan Yitu.

Kedutaan Besar China di Washington DC tidak memberikan tanggapan atas permasalahan tersebut.

Departemen Perdagangan AS pun menambil tindakan untuk entitas yang berlokasi di Georgia, Malaysia dan Turki yang juga mencoba mengalihkan barang-barang AS ke program militer Iran.

“Secara khusus, entitas ini adalah bagian dari jaringan yang digunakan untuk memasok atau mencoba memasok ke Iran dengan barang-barang asal AS yang pada akhirnya akan memberikan dukungan material kepada industri pertahanan Iran yang mana melanggar kontrol ekspor AS,” catatan pemberitahuan yang dikutip dari laman CNBC, Jumat, 17 Desember 2021.

Totalnya Departemen Perdagangan telah memblokir 34 entitas di China, tiga di Georgia, satu di Malaysia, dan dua di Turki.

 

 

Reporter: Ayesha Puri