Liputan6.com, Jakarta - Inflasi dan kenaikan suku bunga membayangi pasar keuangan pada 2022. Di tengah inflasi dan kenaikan suku bunga tersebut, sektor saham defensif akan kuat hadapi risiko tersebut.
Pasar keuangan akan bersiap hadapi kenaikan suku bunga. Berdasarkan data, setiap kenaikan suku bunga yang terjadi pada 2018, 2013, dan 2018, aset berisiko Indonesia cenderung mampu hadapi risiko tersebut, demikian mengutip dari laman Ashmore Asset Management Indonesia.
Baca Juga
Namun, Ashmore melihat kecuali pada 2018, likuiditas yang kuat mengguyur pasar. Seiring likuiditas yang berat dalam dua tahun, Ashmore menyebutkan dapat memahami alasan Bank Indonesia (BI) untuk terlebih dahulu tingkatkan suku bunga acuan untuk hadapi kenaikan suku bunga bank sentral AS atau the Federal Reserve.
Advertisement
Menurut ekonom, kenaikan suku bunga acuan akan kurangi sekitar 11 persen dari kelebihan likuiditas yang mungkin tidak mengurangi likuiditas yang ada dan harga aset berisiko. Namun, risiko utama yang dihadapi adalah jika inflasi tiba-tiba muncul.
Lalu bagaimana peluang kenaikan inflasi?
Ada sejumlah risiko yang bakal dorong inflasi seiring harga energi yang bergejolak dan pemulihan kegiatan ekonomi. "Namun, kami juga melihat risiko volatilitas harga di dalam negeri seiring kewajiban domestik untuk batu bara, dan minyak goreng serta plafon harga,” demikian mengutip dari laporan Ashmore Asset Management Indonesia, Senin (7/2/2022).
Akan tetapi, hal itu juga ada risiko kenaikan harga yang dilakukan banyak produsen yang dimulai pada 2021 dan dikombinasikan dengan pemulihan yang stabil di tengah varian omicron dapat menyebabkan inflasi lebih tinggi dari kisaran inflasi pemerintah. Pemerintah menargetkan inflasi maksimal 3 persen pada 2022.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Sektor Saham Defensif dan Blue Chip Bakal Jadi Pemenang
Dengan melihat kondisi tersebut bagaimana dampaknya ke penurunan peringkat aset berisiko?
Ashmore mencatat korelasi jangka panjang antara jumlah uang beredar dan valuasi positif sehingga dalam kenaikan suku bunga sebanyak tiga kali ini sebelumnya, biasanya valuasi diturunkan.
Ashmore melihat sejumlah faktor yang pengaruhi antara lain kepemilikan investor asing semakin tinggi akan semakin parah, stabilitas ekonomi makro antara lain rupiah dan inflasi, serta pertumbuhan laba.
“Dibandingkan dengan kenaikan suku bunga sebanyak tiga kali sebelumnya, kami melihat kepemilikan asing yang rendah, prospek makro yang stabil dan visibilitas yang baik dalam laba akan kurangi potensi penurunan peringkat,” tulis Ashmore.
Adapun secara historis, sektor saham defensif dan blue chip akan sebagai pemenang dalam situasi tersebut. Sedangkan sektor siklikal akan alami pertumbuhan laba yang baik dan hadapi tekanan penurunan peringkat.
Advertisement