Sukses

Investor Asing Beli Saham Rp 7,6 Triliun pada 7-11 Februari 2022

Associate Director Pilarmas Investindo, Maximilianus Nicodemus menuturkan, ada sejumlah faktor yang mendorong aksi beli investor asing pada pekan ini.

Liputan6.com, Jakarta - Selain Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat rekor pada periode 7-11 Februari 2022, aksi beli investor asing di pasar saham pun signifikan. Fundamental ekonomi Indonesia yang positif menjadi katalis positif bagi investor asing.

Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), Sabtu (12/2/2022),  IHSG melonjak 1,25 persen pada pekan ini dari posisi 6.731,39 menjadi 6.815,60. Kapitalisasi pasar bursa naik 1,17 persen menjadi Rp 8.587,77 triliun pada pekan ini dari pekan sebelumnya Rp 8.488,37 triliun.

Penguatan IHSG tersebut juga didorong dari aksi beli investor asing. Tercatat aksi beli investor asing mencapai Rp 7,64 triliun pada 7-11 Februari 2022. Sepanjang 2022, investor asing membukukan aksi beli bersih Rp 15,39 triliun.

Pada pekan ini, investor asing akumulasi saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Rp 2,4 triliun, PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) senilai Rp 1,1 triliun, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) senilai Rp 867,9 miliar, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) senilai Rp 735,8 miliar, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) senilai Rp 633,2 miliar.

Associate Director Pilarmas Investindo, Maximilianus Nicodemus menuturkan, ada sejumlah faktor yang mendorong aksi beli investor asing pada pekan ini. Hal ini terutama didorong sejumlah rilis data ekonomi Indonesia yang keluar pada pekan ini.

Pertama, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara kumulatif sepanjang 2021 mencapai 3,69 persen. Secara yoy (tahunan), ekonomi Indonesia tumbuh 5,02 persen.

"GDP positif 2021 ini jadi katalis positif bagi pelaku pasar dan investor. Tren pemulihan ekonomi Indonesia akan berlanjut pada 2022. Pemulihan ekonomi nyata itu menunjukkan program pemerintah mendorong ekonomi berjalan semestinya,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, ditulis Sabtu pekan ini.

Ia menambahkan, inflasi menjadi perhatian. Meski inflasi inti alami peningkatan menunjukkan daya beli dan konsumsi pulih, tetapi menurut Nico hal itu mendorong pertanyaan apakah masih berlanjut pada Februari 2022. Hal ini seiring penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3 di sejumlah wilayah.

Kedua, cadangan devisa Indonesia yang positif juga menjadi katalis positif.  Meski turun pada Januari 2022, cadangan devisa Indonesia tercatat USD 141,3 miliar dari Desember 2021 sebesar USD 144,9 miliar. "Cadangan devisa masih positif tentu patut kita apresiasi,” kata dia.

Ketiga, Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga acuan 3,5 persen. Meski demikian, Nico melihat Bank Indonesia akan ikuti langkah the Federal Reserve atau bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga acuan.”So far BI optimistis dengan potensi 1:1,” kata dia.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Sentimen Negatif

Meski pada pekan ini diliputi sejumlah data ekonomi Indonesia yang positif, Nico mengingatkan data ekonomi inflasi Amerika Serikat yang meningkat mencapai 7,5 persen lebih tinggi dari proyeksinya. Hal itu mengindikasikan bank sentral AS atau the Fed berpotensi menaikkan suku bunga acuan. Sebelumnya diperkirakan kenaikan suku bunga 50 basis poin pada Maret 2022.

“The Fed jadi perhatian seberapa cepat dan besar kenaikan suku bunga. Inflasi nasik spekulasi bermain antara investor dan pelaku pasar akan ada kenaikan suku bunga acuan 25 basis poin,” kata dia,

Selain suku bunga bank sentral yang bayangi pasar saham, Nico menilai, varian omicron juga dapat menjadi kendala.

"Salah satu kita perhatikan omicron karena ganggu untuk menciptakan prospek pemulihan ekonomi apabila tidak dapat dikendalikan dengan baik karena bisa meningkatkan level PPKM,” kata dia.

Ia menuturkan, kenaikan level PPKM dapat menekan aktivitas dan mobilitas masyarakat. Hal ini dapat pengaruhi tren daya beli masyarakat. “Kita masih membutukan konsumsi untuk menopang pertumbuhan ekonomi,” tutur dia.