Liputan6.com, Jakarta - Saham-saham bank digital telah menuai perhatian sejak tahun lalu. Hal ini seiring harga saham bank berkaitan dengan digital melonjak signifikan.
Berdasarkan data RTI, pada 2021, saham Bank Neo Commerce (BBYB) melonjak 782,55 persen ke posisi Rp 2.630 per saham. Selain itu, saham Bank Jago (ARTO) naik 272,09 persen ke posisi Rp 16.000 per saham.
Namun, kenaikan harga saham signifikan tersebut tidak membuat investor Lo Kheng Hong tertarik. Investor yang juga disebut Warren Buffett Indonesia Lo Kheng Hong tidak memilih portofolio saham bank digital.
Advertisement
Baca Juga
“Bank digital asetnya kecil, sedangkan valuasinya mahal. Sedangkan bank konvensional asetnya besar dan valuasinya murah,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, lewat pesan singkat, ditulis Minggu (20/2/2022).
Lo Kheng Hong memilih saham bank konvensional dalam portofolio sahamnya. Ia menilai, saham bank konvensional masih sangat menarik. “Asetnya besar dan valuasinya murah,” tegas dia.
Ia mengaku sudah cukup lama memegang lama saham bank konvensional tersebut.
Sebelumnya, Lo Kheng Hong pernah menuturkan, tidak akan membeli bank kecil dengan aset di bawah Rp 10 triliun tapi P/B 50 kali.
Sementara ada bank yang asetnya Rp 200-300 triliun dengan P/B hanya hanya 0,5 kali. Bahkan, Lo Kheng Hong mencermati ada pula perusahaan yang labanya di 2021 hanya sekitar Rp 250 miliar tetapi valuasinya mencapai Rp 100 triliun.
"Jadi enggak mungkin saya beli seperti itu. Saya lebih suka beli saham yang seperti tambang batu bara yang P/B hanya di bawah 5 kali. Beli bank-bank yang P/B hanya 0,5, yang murah-murah,” ujar dia, Rabu, 9 Februari 2022.
"Jadi saya hanya mau membeli Mercy harga Avansa. Bukan Bajaj yang dijual harga Mercy, tentu saya enggak mau beli,” Lo Kheng Hongmenambahkan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Alasan Lo Kheng Hong Tak Pegang Saham Perusahaan Digital
Sebelumnya, Lo Kheng Hong, investor kondang tanah air menyebutkan ada hujan emas di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kondisi tersebut berlangsung selama pandemi covid-19 utamanya pada awal kemunculannya pada 2020.
Lo Kheng Hong menjelaskan, saat itu indeks harga saham gabungan (IHSG) bahkan anjlok hingga level 3.900. Sehingga banyak perusahaan bagus yang harga sahamnya ikut merosot. Sebagai investor fundamental, Lo menilai momentum ini sangat potensial.
"Pada waktu pandemi ada hujan emas di BEI. Jadi ketika pandemi kita harus bawa ember yang besar dan kita tampung emas-emas itu. Kita beli perusahan yang bagus dengan harga yang murah,” ungkap Lo dalam diskusi virtual - Investasi di 2022: It's my dream, ditulis Rabu, 9 Februari 2022.
“Kalau kita simpan setahun saja sampai 2021 kita sudah untung berkali-kali lipat,” imbuhnya.
Lo Kheng Hong membeberkan sejumlah sektor potensial yang bisa dilirik utamanya selama pandemi. Pertama, ada perbankan. Lo menilai pemulihan di sektor ini relatif lebih cepat dibandingkan sektor lainnya. Kemudian komoditas, seperti batu bara.
Ia menilai, harga batu bara telah meroket dari semula di kisaran USD 50 per ton, naik sampai USD 200 per ton.
"Tentu itu sangat menarik, jadi labanya juga akan meningkat banyak sekali," kata Lo.
Sektor selanjutnya yakni perkebunan kelapa sawit atau CPO. Sama seperti baru bara, harga CPO juga mengalami kenaikan signifikan dari semula di kisaran RM 2.000 per ton, naik sampai RM 5.400 per ton. Selain itu, Lo juga menyebutkan sejumlah sektor yang semula kinerjanya biasa saja, tetapi meroket saat pandemi. Di antaranya pelayaran atau logistik dan kaca.
"Ada sektor yang biasanya biasa saja, tiba-tiba jadi bagus sekali, misalnya pelayaran, kontainer. Tiba-tiba tarif kontainer bisa naik, sehingga labanya juga meningkat berlipat-lipat, padahal biasanya perusahaan pelayaran labanya biasa-biasa saja,” ujar Lo.
“Kemudian perusahaan kaca. tiba-tiba labanya jadi melonjak sekali,” ia menambahkan.
Advertisement