Liputan6.com, Jakarta - Saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) masih cenderung melemah pada awal 2022. Hal tersebut dinilai seiring kinerja keuangan Unilever Indonesia yang juga tertekan.
Mengutip data RTI, saham UNVR merosot 44,08 persen ke posisi Rp 4.110 per saham pada 2021. Saham UNVR berada di level tertinggi Rp 8.000 dan terendah Rp 3.800 per saham.
Sepanjang tahun berjalan 2022, saham UNVR turun 10,46 persen ke posisi Rp 3.680 per saham. Saham UNVR berada di level tertinggi Rp 4.340 dan terendah Rp 3.670 per saham. Total volume perdagangan 744.923.614 saham. Nilai transaksi Rp 3 triliun dan frekuensi perdagangan 287.022 kali.
Advertisement
Baca Juga
Pada penutupan perdagangan Jumat, 25 Februari 2022, saham UNVR turun 0,27 persen ke posisi Rp 3.680 per saham. Total volume perdagangan 45.857.983 saham dengan nilai transaksi Rp 169,5 miliar. Total frekuensi perdagangan 10.402 kali.
Hal itu pun memicu Unilever disarankan untuk melakukan pembelian kembali saham dan jika tidak melakukan delisting sukarela atau go private. Dalam riset yang dikeluarkan oleh perusahaan penasihat investasi PT Nilzon Kapital Advisors menyebutkan sejak 1 Januari 2018-Februari 2022, kinerja saham UNVR di bawah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan LQ45.
"Saham saat ini diperdagangkan diskon 66 persen dari awal 2018 pada posisi tertinggi, dan 62 persen jika disesuaikan dengan pembayaran dividen,” demikian mengutip dari riset tersebut, Sabtu (26/2/2022).
Dalam riset itu juga menyebutkan alasan utama kinerja saham tertekan itu terutama didorong dari performa kinerja keuangan yang merosot, manajemen internal, dan mendorong pengurangan pembobotan indeks saham utama terutama di IHSG, IDX30, LQ45. Selain itu, saat ini kepemilikan saham UNVR oleh publik sekitar 15 persen.
PT Unilever Indonesia Tbk mencatat penjualan bersih turun 7,9 persen menjadi Rp 39,54 triliun pada 2021. Pada 2020, perseroan meraup penjualan Rp 42,97 triliun. Harga pokok penjualan tercatat Rp 19,91 triliun hingga 2021 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 20,51 triliun.
Laba PT Unilever Indonesia Tbk merosot 19,6 persen dari Rp 7,16 triliun pada 2020 menjadi Rp 5,75 triliun pada 2021. Laba per saham dasar pun tercatat turun menjadi Rp 151 pada 2021 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 188.
Mengutip riset tersebut, berdasarkan data dalam 12 kuartal terakhir, UNVR mencatat kinerja keuangan lebih rendah dari yang diharapkan sebanyak 10 kali.
"Sebagian besar membuat analis dan investor tidak senang dengan kinerja fundamental dan prospeknya,” demikian mengutip riset tersebut.
Berdasarkan 17 analis yang disurvei Refinitif, hanya satu merekomendasikan beli, dan enam dengan standby on bear camp. Rata-rata target harga saham dinilai cenderung rendah mengindikasikan kepercayaan diri memudar untuk prospek ke depan.
"Semua faktor ini mungkin mendorong harga saham tergelincir. Menempatkan tekanan management dan eksekutif kunci untuk mengimplementasikan perubahan yang membawa kembali kepercayaan investor,” tulis riset itu.
"Valuasi yang lemah saat ini dapat mendorong Unilever PLC kembali memikirkan status UNVR sebagai perusahaan publik, terutama ketika pasar gagal terapresiasi,” demikian tulis riset itu.
Dalam riset itu juga menyebutkan ada kemungkinan pertumbuhan penjualan UNVR selama beberapa tahun terakhir. Hal ini terutama dipengaruhi rata-rata kenaikan harga jual dan bukan volume penjualan seperti yang terjadi pada induknya Unilever PLC.
"Antara 2017-2021, kinerjanya di bawah pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebanyak empat kali,” tulis riset itu.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Usulan Buyback
Selain itu, pada 2021, sebagian besar pesaing Unilever akuisisi beberapa merek dalam segemen perawatan pribadi. Pesaing seperti L’Oreal dan P&G berjuang untuk mendapatkan kue ekspansi produk kecantikan perawatan kulit dengan akuisisi merek antara lain Takami, Gjosa, Quai, dan SK-II.
“UNVR hampir kehilangan setiap aspek penting dari tata kelola perusahaan yang baik dari sudut pandang pemegang saham independent,” demikian mengutip riset tersebut.
Riset itu menyebutkan antara lain hal itu ditunjukkan dari kepemilikan saham publik 15 persen, hanya sedikit di atas dari persyaratan minimum oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Selain itu, rata-rata dibutuhkan waktu 21 tahun karyawan internal untuk bergabung di posisi dewan direksi.
Di sisi lain, kenaikan gaji manajemen kunci sebesar 77 persen antara 2016-2020. Kondisi ini berbeda dengan penjualan perseroan hanya tumbuh 7 persen. Selain itu, Unilever Plc menjadi pengontrol dengan kepemilikan 85 persen, dan arus kas internal, pengeluaran, membuat UNVR rentan terhadap eksploitasi berlebihan untuk kepentingan grupnya.
“Dari 100 persen penjualan bersih, setidaknya 20,13 persen ditransfer langsung ke perusahaan yang dimiliki oleh Unilever Plc senilai hampir Rp 8 triliun, jauh lebih besar dari laba bersih UNVR sebesar Rp 5,8 triliun. Porsi laba bersih untuk pemegang saham mandirinya hanya 2,18 persen dari penjualan bersihnya,” demikian mengutip riset itu.
Meski demikian, berdasarkan perusahaan sejenis global di bawah pengamatan, PE UNVR lebih murah 10 kali. “Diskon atas perusahaan sejenis secara global ini dapat dibenarkan mengingat UNVR sangat mungkin melanjutkan tren turun EPSnya, membuat valuasi ke depan tidak menarik. Selain itu, UNVR konsisten melewatkan perkiraan analis selama enam tahun terakhir,” tulis riset itu.
Riset itu juga menyebutkan, terlepas dari diskon, rasio P/E UNVR 25,57 kali lebih tinggi dari perusahaan induknya Unilever PLC yang memiliki kelipatan PE 19,78 kali.
“Mengingat valuasi yang lemah UNVR lebih baik membeli kembali saham atau buyback dan memakai leverage utang untuk memadamkan biaya modal lebih tinggi,”
Hingga artikel ini diturunkan, Liputan6.com telah mencoba menghubungi manajemen Unilever terkait hal tersebut.
Advertisement