Liputan6.com, Jakarta - Pasar obligasi diprediksi hadapi lebih banyak tantangan di tengah kenaikan suku bunga dan inflasi. Hal ini dinilai sesuai dengan prinsip suku bunga dan harga obligasi berbanding terbalik.
Hal itu disampaikan Senior Portfolio Manager, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Syuhada Arief dalam catatannya dikutip Minggu (31/7/2022).
Baca Juga
Ia menuturkan, fundamental makro ekonomi Indonesia yang lebih baik dan siap hadapi pengetatan kebijakan moneter global diharapkan dapat memberikan dukungan bagi pergerakan pasar obligasi domestik. Adapun sejumlah faktor positif yang mendukung antara lain:
Advertisement
-Kebijakan pemerintah untuk menjaga beberapa harga barang membuat inflasi tahun 2022 – walaupun meningkat –tetap terkendali.
- Basis investor yang lebih terdiversifikasi – naiknya partisipasi investor domestik dan penurunan kepemilikan investor asing (saat ini persentase kepemilikan asing di bawah 16 persen) –berkontribusi pada stabilitas pergerakan pasar obligasi domestik.
-Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan terjadi surplus anggaran pada Mei sebesar Rp132,2 triliun atau setara dengan 0,74 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
-Kemenkeu menurunkan target pembiayaan melalui lelang sebesar Rp147 triliun, di mana ini berarti dalam setiap lelang target penerbitan turun dari Rp20 triliun menjadi Rp5 triliun.
"Kita melihat kebijakan Bank Indonesia dalam melakukan pengetatan moneter terutama suku bunga Bank Indonesia akan berperan penting terhadap sentimen investor global terhadap pasar obligasi Indonesia," kata dia.
Ia memperkirakan, dalam jangka menengah, imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun kembali ke kisaran 6,5 persen-7 persen.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Sentimen
Meski demikian, ada sejumlah sentimen yang perlu dicermati ke depan. Syuhada menuturkan, dari sisi eksternal, perkembangan geopolitik dan lonjakan kasus COVID-19 China menjadi risiko utama yang perlu dicermati karena berdampak signifikan pada tekanan inflasi. "Hal ini dapat mempengaruhi laju perubahan kebijakan moneter, dan pembelian aset," ujar dia.
Sedangkan dari sisi internal, perkembangan harga minyak dunia dan komoditas utama ekspor berdampak besar terhadap beban subsidi energi dan nilai tukar rupiah. Di samping itu, laju pertumbuhan kredit menjadi salah satu faktor yang perlu dicermati mengingat selama ini bank menjadi pembeli mayoritas surat berharga negara (SBN).
"Kebijakan Bank Indonesia untuk menaikkan giro wajib minimum (GWM) secara bertahap juga harus dicermati efeknya dalam mengurangi likuiditas di pasar," kata dia.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Strategi
Lalu strategi apa yang diterapkan untuk dorong kinerja portofolio?
Syuhada menuturkan, pengelolaan portofolio didasari pada pendekatan top-down analisis makro ekonomi global dan domestik serta kekuatan analisis bottom-up, pemilihan efek berdasarkan fundamental yang solid untuk pembentukan portofolio yang optimal.
"Dalam hal ini selain didukung tim investasi yang berpengalaman di pasar domestik, kami juga didukung jaringan global Manulife Investment Management yang memiliki tim investasi on-the-ground yang dapat memberikan keunggulan informasi dan analisa yang terkini dan tajam," kata dia.
Ia menambahkan, dengan volatilitas pasar yang tinggi berbeda dengan strategi pada sebelumnya, pihaknya tidak memfokuskan overweight atau underweight duration vs durasi tolok ukur.
"Namun, kami lebih fokus kepada relative valuation methodology. Pada strategi ini kami fokus pada pemilihan seri obligasi atau alokasi sektor tenor pada kurva imbal hasil yang memberikan spread paling optimal relative dibandingkan spread imbal hasil pada seluruh sektor tenor yang lain,” kata dia.
Syuhada menambahkan, pihaknya juga terus cermati likuiditas dan volatilitas untuk memastikan pengelolaan investasi memberikan hasil optimal dengan risiko yang terukur.
Melihat Potensi Resesi dan Inflasi AS
Terkait kebijakan dan kenaikan suku bunga bank sentral, serta kenaikan imbal hasil US treasury jangka menengah yang sudah mendekati puncaknya, Syuhada menilai, saat ini Fed Funds Rate (FFR) sampai akhir tahun seperti yang dikomunikasikan oleh pejabat bank sentral sendiri sudah sesuai dengan harapan pasar di kisaran 3,4 persen.
Sebelumnya, ketidaksesuaian yang ada selalu menciptakan pertanyaan dan keraguan atas kredibilitas bank sentral dalam mengkaji kondisi ekonomi terkini. “Ekspektasi yang selaras ini, walaupun lebih agresif diharapkan dapat mengurangi faktor ketidakpastian, kejutan dan volatilitas pergerakan imbal hasil US Treasury ke depannya,” kata dia.
Ia juga menanggapi mengenai potensi resesi ekonomi Amerika Serikat yang semakin mengemuka. Ia menuturkan, saat ini proses pengetatan moneter Amerika Serikat paling agresif dalam beberapa dekade. Kondisi ini membuat prospek pertumbuhan ekonominya akan mengalami banyak tantangan, bahkan mungkin pula resesi.
Advertisement
Inflasi AS
"Namun data terkini yang ada setidaknya menunjukkan perekonomian saat ini masih relatif kuat. Beberapa leading indicator juga belum menunjukkan sinyal resesi. Probabilitas resesi dari Fed NY masih di bawah level 30 persen yang merupakan ‘red flag’ atau sinyal kemungkinan potensi resesi. Begitu pula dengan data Conference Board Leading Economic Index yang sampai saat ini masih dalam zona pertumbuhan," ujar dia.
Lalu bagaimana dengan inflasi Amerika Serikat ke depan?
Syuhada menuturkan, inflasi akan menjadi faktor penting yang menentukan jalur pengetatan kebijakan moneter The Fed ke depannya. “Sejauh ini kami memperkirakan inflasi akan mereda pada 2023 dan sebelum mencapai kondisi tersebut pasar akan terus diwarnai oleh kekhawatiran terkait inflasi yang persisten dan perlambatan ekonomi,” tutur dia.
Ia mengatakan, tampaknya akan sulit bagi bank sentral untuk menjadi lebih akomodatif sampai ada sinyal tren penurunan harga komoditas. “Mudah-mudahan kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah dan bank sentral dapat menghindarkan ekonomi dari resesi yang berkepanjangan,” kata dia.